BERBAGI CERITA DENGAN EXPATRIAT SURINAME DI TONGAR PASAMAN BARAT

BERBAGI CERITA DENGAN EXPATRIAT SURINAME DI TONGAR PASAMAN BARAT

Artikel Drs. AKRAL, MM(Badan Pemberdayaan Masyarakat) 29 April 2019 16:16:45 WIB


TUKIRAH, itulah nama tokoh kita ini, perempuan  ini dilahirkan 74 tahun yang lalu, tepatnya 21 Juli 1945 di Suriname, yaitu sebuah negeri yang sangat jauh dari Indonesia, terletak di Amerika Selatan yang memakan waktu satu bulan naik kapal laut untuk sampai ke Indonesia, sebagai mana diceritakan oleh ibu Tukirah. Pada tanggal 14 Februari 1954 sampailah Tukirah kecil bersama orang tuanya di Desa/Jorong Tongar Nagari Lingkuang Aua kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat. 

Sabtu 27 April 2019 yang lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan Ibu Tukirah di Jorong Tongar, ibu Tukirah merupakan generasi ke 2 dari 350 KK expatriat Warga Negara Indonesia asal Jawa yang dikirim ke Suriname dulunya. Orang tua ibu Tukirah bernama Kartosuntono, dikala masih bujangan beliau dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda ke Suriname sebagai pekerja (buruh) tani, mereka dipekerjakan di ladang tebu, ladang kopi, ladang ubi, jagung, bersama dengan bangsa-bangsa dari tanah jajahan yang lainnya, yaitu disamping orang Indonesia ada Negro dari Afrika dan India. Dipekebunan inilah orang tua ibu Tukirah bertemu dengan Bapak Kartosuntono, dari pernikahan mereka lahirlah 5 orang anaknya, dan ibu Tukirah adalah anak nomor 2 dari 5 bersaudara. Ketika ada tawaran pulang ke Jawa,  Bapak Kartosuntono menyambut dengan suka cita, maka dibawalah keluarganya pulang ke Jawa, waktu di Suriname dulu mereka dijanjikan akan di pulangkan ke Jawa dan ternyata sampai di sini (Tongar). Waktu itu jumlahnya sangat banyak sekali, sekitar 350 KK, dan ada sekitar 1000 orang yang dipulangkan dengan menggunakan kapal laut, lama perjalanan/pelayaran dari Suriname ke Indonesia memakan waktu sekitar satu bulan. Waktu itu ibu Tukirah baru berumur kira-kira 10 tahun, ada kakak dan adik-adiknya juga, mereka dibawa dengan menggunakan dua buah kapal saat itu. 

Ketika ditanya bagaimana perasaan ibu ketika sampai di Indonesia. Ibu Tukirah dengan spontan mengatakan "Wah sangat senang sekali, apalagi sebagai bangsa Indonesia tentu sangat senang sekali." Pertama sekali kami diturunkan dipelabuhan Teluk Bayur, naik mobil dibawa kesini, kenang buk Tukirah. Kondisi Tongar saat itu cukup bagus dan tertata, rumahnya dibangun agak tinggi, karena disini masih sepi dan banyak binatang buasnya terutama sekali harimau dan beruang, dan penduduk lain tidak ada yang tinggal disini. Siang hari orangtuanya bersama expatriat yang lain mengolah lahan yang disediakan, lahan ditanami kelapa, nangka, sukun mangga, juga ubi, nenas alpokat, dan sebagainya. Namun kondisi itu sangat senang sekali, walaupun banyak juga yang merantau dan meninggalkan lahan mereka, ada yang sebagai pekerja tambang di Sawahlunto, ada yang ke Pakan Baru dan ada pula Medan dan sebagainya.

Penulis juga bertanya tentang pendidikan ibu Tukirah, karena usianya saat di Suriname sudah 10 tahun, tentu sudah sekolah di Suriname dulu, Tukirah menjawab, beliau tidak sempat sekolah di sana, karena Tukirah kecil takut sama orang Negro dan orang India yang orangnya hitam badannya besar-besar dan nakal lagi, sehingga orang Jawa merasa takut berbaur sama nereka, demikian Tukirah mengenang masa lalunya. Ibu Tukirah sekolah di Sekolah Rakyat di Tongar dan hanya sampai kelas 4, karena tidak ada biaya, dan masa depan itu tidak jelas saja waktu itu, kemana-mana jauh, sarana transportasi tidak ada, orang yang punya sepeda saja paling banyak hanya 10 orang saja saat itu kenang beliau. 

Ibu Tukirah menikah dengan Bapak Tumber tahun 1960 warga Transmigrasi dari Ponorogo di Ophir, dari perkawinannya itu, mereka telah dikaruniai 6 orang anak,  20 cucu dan 8 cicit,  putra sulungnya bernama Tukiman sekarang bekerja di PT. Semen Padang dan yang 5 lagi tetap jadi petani. Ibu Tukirah dan Bapak Tumber hanya berdua saja dirumah, ibu Tukirah kelihatan masih kuat dan fresh menemani suaminya, Bapak Tumber di usia 75 tahun juga masih kuat, hal ini dapat dilihat dari pekerjaannya sehari-hari berprofesi sebagai tukang urut/pijit, pijitan Bapak Tumber cukup kuat dan berasa sekali, karena penulis merasakan langsung pijitannya. Sebagai expatriat mereka hidup sangat senang dan bahagia apalagi di usia senja. 

Ketika ditanya Apakah ibu menyesal dikembalikan ke Indonesia, dengan lantang ibu Tukirah mengatakan "tidak ada menyesal, bagaimanapun juga "Indonesia adalah Tanah Airku", kalimat inilah yang sering disebut-sebut oleh orang Jawa di Suriname dulu, disana kami juga bertani, semua pekarangan ditanami kacang dan ubi, tapi hasilnya entah buat siapa, disini kita dikasih rumah dan lahan, hasilnya buat kita, apalagi prinsip orang Jawa "mangan ora mangan tetap ngumpul, dan ketika ditanya tentang pembangunan sekarang, ibu Tukirah sangat senang dengan pembangunan yang ada sekarang, dulu disini sepi, tidak ada kendaraan yang mondar mandir dan kemana-mana sulit, ke pasar Simpang Empat membawa hasil kebun sekali seminggu dipikul, kadang-kadang dengan pedati tapi sekarang kemana-mana dengan mudah sampai ditujuan. Ternyata ibu Tukirah dan Bapak Tumber tahun yang lalu baru pulang dari kampung suaminya  di Ponorogo, ibu Tukirah bercerita naik mobil mulai dari rumah, naik pesawat, naik mobil lagi sampai di rumah saudaranya di Ponorogo dan kembali ke rumah di Tongar alhamdulillah aman dan selamat. Pembangunan sudah sangat maju bahkan bapak Tumber sering dijemput juga dengan mobil dan sepeda motor oleh orang untuk mijit, anak-anak dan cucu juga sering berkomunikasi hanya melalui Handphone. Kami senang dengan pemerintah sekarang yang membangun "Tanah Airku Indonesia" kata mereka berdua. Apa pesan terakhir kepada generasi muda Indonesia, beliau berpesan rajin belajar dan rajin bekerja serta selalu hormat sama orang tua, pesan yang simpel dan sederhana, namun penuh makna, semoga sehat selalu Ibu Tukirah dan keluarga. (by. Akral)