140 Tahun Kartini
Artikel () 29 April 2019 08:10:02 WIB
Sedikitnya sudah 55 tahun RA Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Sehingga sudah banyak rakyat Indonesia yang memperingati hari lahir Kartini ketika di bangku sekolah. Apalagi tanggal lahirnya masuk ke dalam informasi tanggal penting di kalender. Lagu tentang Kartini juga ada, dan sering dinyanyikan oleh para pelajar. Maka tak heran rakyat Indonesia mengetahui sejarah Kartini meskipun minimal sejarah singkatnya saja. Dan jika dihitung sejak hari lahirnya pada 21 April 1879, maka usia Kartini hingga tahun 2019 adalah 140 tahun.
Jika membaca sejarah hidup Kartini, memang bukan sosok sembarangan. Karena pada masanya Kartini bisa mengenyam pendidikan Belanda (Europese Lagere School). Sehjngga tak heran Kartini bisa berbahasa Belanda, baik pasif (membaca) maupun aktif (berbicara dan menulis surat ke beberapa orang Belanda seperti Rosa Abendanon dan juga mengirim tulisan ke media berbahasa Belanda).
Sehari-hari Kartini membaca koran berbahasa Belanda seperti Semarang De Locomotief. Ia berlangganan majalah berbahasa Belanda Leestrommel, dan juga membaca majalah perempuan De Hollandsche Lelie. Tulisan Kartini sering dimuat di De Hollandsche Lelie. Kartini juga membaca buku-buku berbahasa Belanda seperti De Stille Kraacht dan Die Waffen Nieder.
Satu hal yang disayangkan Kartini adalah ia tidak bisa berbahasa Arab. Sehingga ia tidak bisa memahami isi Alquran. Padahal Kartini ingin sekali bisa memahami isi Alquran. Pada masa penjajahan Belanda, penjajah melarang penerjemahan Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Kartini yang juga belajar membaca Alquran merasakan kehampaan ketika sekedar membaca saja tanpa mengetahui arti dari yang ia baca. Ia berganggapan jika hal ini terjadi maka Islam tidak bisa dimengerti oleh umatnya. Guru mengaji Kartini pernah memarahi Kartini karena diminta Kartini menerjemahkan arti dari bahasa Arab yang dibacanya. Hal ini ternyata membuat Kartini pesimis bisa memahami Islam. Kartini merasakan keanehan, ia bisa memahami bahasa Belanda dan Inggris tapi gagal memahami bahasa Arab.
Hingga akhirnya Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat yang sedang memberikan pengajian yang berisi tafsir surat Al-Fatihah yang dijelaskan dalam bahasa Jawa, di rumah Bupati Demak, yang merupakan rumah paman Kartini. Maka jika sebelumnya Kartini membaca Al-Fatihah hanya mengucapkan saja dalam bahasa Arab, setelah bertemu Kiai Sholeh Darat dan mengikuti pengajiannya Kartini bisa memahami arti dari surat Al-Fatihah tersebut.
Ketika menikah dengan Bupati Rembang, Kartini menerima kado dari Kiai Sholeh Darat berupa tafsir juz pertama dalam bahasa Jawa. Kartini kemudian menerima tafsir berbahasa Jawa hingga juz enam. Dan Kiai Sholeh Darat tak menyelesaikan pekerjaannya membuat tafsir lengkap karena keburu meninggal dunia.
Dari sini terlihat bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang berpikiran maju dengan mampu menguasai bahasa Belanda sehingga bisa membaca koran, majalah dan buku berbahasa Belanda yang membuka cakrawala berpikir Kartini. Dan juga, Kartini adalah sosok perempuan yang haus terhadap upaya memahami ajaran Islam yang ada di dalam Alquran.
Kartini juga beruntung bertemu dengan Kiai Sholeh Darat, seorang ulama yang mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan memadukan dengan local wisdom (kearifan lokal). Kiai Sholeh Darat sendiri juga bukan merupakan orang sembarangan. Ia adalah anak dari Kiai Umar, salah satu ulama kepercayaan Pangeran Diponegoro yang juga ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro.
Kiai Sholeh Darat juga merupakan guru dari pendiri NU KH,. Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah KH. Ahamd Dahlan.
Sementara Kartini juga memiliki darah keturunan muslim taat dari garis ibunya. Sementara dari garis ayahnya, Kartini merupakan keturunan ningrat hingga nanti sampai ke Hamengkubuwono keenam dan kemudian diteruskan lagi ke Kerajaan Majapahit. Ibunda Kartini adalah anak dari pasangan Hj. Siti Aminah dan KH. Mardirono.
Dari 140 tahun Kartini bisa ditarik kesimpulan, bahwa pada zamannya Kartini sudah berpikiran maju, baik dalam hal keduniaan maupun keakhiratan. Kartini sudah mengetahui bagaimana majunya peradaban Eropa, tetapi ia juga tetap bersandar kepada pemahaman ajaran Islam melalui upaya membaca tafsir Alquran dalam bahasa Jawa. Maka di era millennium ketiga ini sudah sepantasnya Kartini menginspirasi perempuan Indonesia untuk berpikir maju sekaligus kuat memahami ajaran agama dengan memahami kitab suci agamanya. (efs)
Referensi:
Taufiq Hakim, “Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M”, INDeS Publishing, Yogyakarta: 2016
ilustrasi: shutterstock dot com