DIRECT FLIGHT, PELUANG ATAU ANCAMAN ? (pemahaman seorang komentator)
Artikel ()
DIRECT FLIGHT, PELUANG ATAU ANCAMAN ? (pemahaman seorang komentator)
H. Novrial, SE, MA, Akt, Sekdisbudpar Prov. Sumbar
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Serempak semua pihak berkomentar keras disaat Mandala – Tiger Air menghentikan jalur penerbangan internasional langsung Padang – Singapura karena alasan ke-ekonomian, load factor rata-ratanya hanya mencapai “lebih sedikit” dari 30 persen, dengan konfigurasi yang kurang seimbang antara load factor Padang – Singapore dan sebaliknya. Selayaknya komentator (saya termasuk salah satunya hehehe), tentu tidak memerlukan standard dan indikator apapun untuk berkomentar, semua unek-unek harus dikeluarkan, benar atau salah, perlu atau tidak perlu, ndak peduli, yang penting berkomentar dulu. Sebagai komentator para komentator, saya sering geli sendiri membaca ulasan para komentator, pertama mungkin karena keberaniannya berkomentar tanpa pemahaman teknis yang memadai, kedua karena setiap komentar “harus” makan korban dengan mengambing “coklatkan” seseorang/ satu pihak, ketiga yang pasti komentar tersebut hampir dipastikan tanpa usulan solusi, dan terakhir, apapun itu, pastinya menjadi asupan bergizi bagi media dan para pembaca yang haus akan berita dan ilmu pengetahuan. Substansi yang mungkin dapat disimpulkan dari puluhan komentar, opini dan pendapat tersebut adalah “penghentian operasi Mandala – Tiger Air Padang – Singapura merupakan “killing-punch” bagi kepariwisataan Sumatera Barat.
Sejenak ingatan saya mencoba membandingkan nuansa yang berkembang saat dimulainya operasi jalur Padang – Singapore oleh Mandala – Tiger Air beberapa bulan sebelumnya, semua pihak sumringah berbunga-bunga, komentar dan opini pun memuji setinggi “luh mahfudz” kepiawaian Pemerintah Provinsi yang berhasil me-lobby Manadala – Tiger Air sebagai satu maskapai yang baru saja “re-born” paska prahara internalnya, setelah upaya serupa pada Garuda Indonesia gagal untuk diwujudkan. Apreasiasi dalam bentuk komentar menjulang ke angkasa, penerbangan perdana disambut gegap gempita, di acarakan dan “courtesy-flight” nya pun konon kabarnya dilakukan untuk meyakinkan diri dan calon penumpang tentang prospektifnya jalur ini bagi pariwisata dan perekonomian daerah dimasa mendatang. Tidak hanya upaya promosi bagi calon “passanger” yang dilakukan di luar dan dalam negeri, insiatif untuk mengangkut berbagai potensi kargo seperti produk pertanian, industry, perikanan juga di genjot tak kenal lelah, diiringi koor motivasi dari para komentator yang sedangsenang hatinya bukan kepalang. Berbagai bentuk acara dilakukan di Singapura dalam kemasan promosi inevstasi, perdagangan dan kepariwisataan, bahkan pemasangan logo-sticker Sumatera Barat pada public-taxi Singapura pun dilakukan sebagai bentuk dukungan guna penggaetan arus orang dan barang ked an dari Sumatera Barat.
Satu pertanyaan besar yang masih belum saya temukan jawabannya sampai sekarang adalah, seberapa besarkah keuntungan ekonomi dari adanya jalur penerbangan langsung Padang – Singapura ini bagi Sumatera Barat ? Yang pasti, saya dan kawan-kawan yang pro – kontra dengan hal diatas, tidak akan punya data dukung kuantitatif yang cukup kalau dilakukan telaahan ekonomi detail untuk menjawab pertanyaan diatas, sehingga, sungguh, saya tidak ingin berpihak pada sisi pro – kontra, dan membiarkan hal tersebut tetap menjadi sebuah pertanyaan. Sekedar untuk kelihatan sebagai komentar yang sedikit cerdas, mari kita paksakan untuk menelaah dari sisi jumlah penumpang, mana yang banyak penumpang dari Padang – Singapura atau dari Singapura – Padang ? Hal ini secara sederhana tentunya dapat disimpulkan sebagai lokasi mana antara Padang dan Singapura yang diuntungkan oleh jalur ini. Masih dari sisi penumpang, mana yang lebih banyak warga Negara asing dengan penduduk ber KTP Sumatera Barat yang menikmati jalur ini, dimana juga akan terkuak apakah orang luar yang banyak datang ke Sumatera Barat atau malah sebaliknya orang Sumatera Barat yang banyak plesiran ke Singapura. Ketika dilanjutkan dengan pendalaman “daya tarik parwisata” lebih jauh lagi, apakah arus orang lebih banyak ke daya tarik ‘alami” Sumatera Barat atau ke daya tarik “sophisticated” Singapura, jika dilihat dari rute dan motif perjalanan orang yang menggunakan jalur ini. Atau jika sedikit “nakal” bisa juga dikaji berapa berat barang bawaan masuk dan keluar untuk tujuan Sumatera Barat dan untuk tujuan Singapura untuk mengukur “money-flight” dari dua sisi Sumatera Barat dan Singapura.
Pendapat saya pribadi, dari sisi penduduk Sumatera Barat, untuk pergi ke Singapura tidaklah merupakan hal yang terlalu rumit dan terlalu berlebihan, disaat ada suatu “connecting-point” yang nyaris sama menariknya yaitu Batam, sebelum melanjutkan ke Singapura. Aksesibilitas Padang – Batam yang sangat lancar, daya tarik wilayah Batam yang masih mempesona sejauh ini dengan barang-barang branded murahnya (malah lebih murah dari Singapura menurut para shopper maniac), transportasi lokal (taxi) yang sangat “Minang-oriented” karena hampir 50 % adalah orang awak, dan keberadaan connecting ferry dari beberapa exit-port setiap 30 menit, rasanya cukup menantang untuk ditasbihkan menjadi rute pariwisata yang komprehensif bagi urang awak. Keberadaan jalur langsung Padang – Singapura dari sisi ini sebenarnya malah makin mempersingkat “rute tradisional” tersebut, semakin mengefisienkan biaya perjalanan dan tentu saja makin memperbesar belanja wisatawan lokal di Singapura, tanpa godaan Batam seperti biasanya, karena “shopping-bags” Singapura tentunya akan lebih bergengsi di tenteng saat kembali ke Padang untuk menunjukkan, “ambo baru baliak dari lua nagari mah dunsanak….” Dengan ilmu, latar belakang dan pengalaman apapun, rasanya fikiran kita tentunya akan seirama saat ditanya mau liburan kemana tahun ini? Jawabannya tentu Singapura, karena lebih dekat, lebih murah dan lebih bergengsi daripada destinasi lokal seperti Jakarta, Bandung, Jogja dan Bali.
Sebaliknya bagian yang terpenting untuk diimajinasikan adalah potensi pemanfaatan jalur Singapura – Padang (pp) bagi wisatawan asing sebagaimana yang kita impikan, dengan keyakinan bahwa Singapura adalah salah satu “world-class tourist destination” yang juga berfungsi sebagai ‘hub” bagi extention-route ke destinasi lain seperti Sumatera Barat. Imajinasi kita setidaknya terbagi dua, pertama adalah wisatawan yang sudah menikmati Singapura, kemudian tergoda/ terbujuk untuk meneruskan ke Sumatera Barat, dan atau, wisatawan yang sebenarnya sudah berniat datang ke Sumatera Barat dari belahan dunia lain dan menjadikan Singapura sebagai transit-port nya. Penanganannya tentunya sangat ekstrim berbeda, menggoda wisatawan yang sudah menikmati Sentosa Island dengan Universal Studionya, Orchad-Road, China-town, Little-India dan Bugis Junctionnya untuk datang dengan penawaran paket yang “totally different” ke Sumatera Barat, dibandingkan dengan wisatawan yang dari Negara asalnya sudah tergoda untuk datang ke Sumatera Barat dan tidak akan tergoda oleh gemerlap Singapura di saat transit. Kita tentunya harus jeli “membaca” dua ilustrasi wisatawan diatas, untuk menetapkan strategi berkaitan dengan aksesibilitas penerbangan langsung dan tentunya berkaitan dengan strategi pemasaran wisata. Penerbangan langsung dari suatu sisi tentunya merupakan peluang jika kita bisa menyusun strategi terkait yang jitu untuk memanfaatkannya, namun jujur tentunya juga bisa merupakan suatu ancaman jika kita tidak bersiap untuk mengantisipasinya. Namun apapun pendapat kita tentang celotehan saya diatas, mohon maaf bahwa itu hanyalah sebuah komentar, yang juga sah untuk dikomentari. Selamat berkomentar….