Berdakwah Melalui Kesenian Randai

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 14 Desember 2018 15:04:17 WIB


BAGI masyarakat Minangkabau, kesenian tradional randai, merupakan salah satu permainan tradisional di Minangkabau tempo doeloe yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran. Selanjutnya, para pemain randai melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.

Randai dipimpin oleh satu orang yang biasa disebut panggoreh, yang mana selain ikut serta bergerak dalam lingkaran legaran ia juga memiliki tugas yang sangat penting lainya yaitu mengeluarkan teriakan khas misalnya hep tah tih untuk menentukan cepat atau lambatnya tempo gerakan dalam tiap gerakan. Tujuannya agar Randai yang dimainkan terlihat rempak dan menarik serta indah dimata penonton Randai tersebut. Biasanya dalam satu group Randai memiliki panggoreh lebih dari satu, yang tujuannya untuk mengantisipasi jika panggoreh utama kelelahan atau kemungkinan buruk lainnya, karena untuk menuntaskan satu cerita Randai saja bisa menghabiskan 1 hingga 5 jam bahkan lebih.

Cerita randai biasanya diambil dari kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat. Fungsi Randai sendiri adalah sebagai seni pertunjukan hiburan yang didalamnya juga disampaikan pesan dan nasihat. Semua gerakan randai dituntun oleh aba-aba salah seorang di antaranya, yang disebut dengan janang.

Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Konon kabarnya randai  sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Tanah Datar ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, di mana dalam Randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.

Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. Namun dalam perkembangannya, Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti kelompok Dardanela.

Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.

Kemduian, kesenian tradisional randai merupakan suatu budaya yang tidak mematikan nilai-nilai agama. Dalam setiap kegiatan pertunjukannya, kesenian ini memasukkan kaidah-laidah ajaran adat dan  agama dalam cerita yang disuguhkan kepada para penonton sebagai nasehat atau singgungan. 

Sehingga para penonton tidak hanya dapat menikmati alur cerita, akan tetapi juga suatu pencerahan dan bisa memahami ajaran-ajaran agamanya melalui kesenian. Tidak hanya itu, bagi masyarakat yang memahami, akan diketahui bahwa setiap alat musik yang digunakan pada setiap pertunjukan kesenian tradisional randai untuk  mengandung nilai-nilai filosofis tertentu yang mempunyai makna tentang sifat-sifat tuhan yang disimbolkan melalui alat musik tersebut. 

Penonton bisa mengetahui tentang sifat-sifat tuhan dengan pertunjukan kesenian ini. Karenanya kegiatan pertunjukan kesenian randai  ini juga merupakan cara untuk memperoleh pristise  adat dan  keagamaan yang bisa mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Kini, kesenian tradisional tersebut bisa dikatakan nyaris punah. Untung saja TVRI Sumatera Barat masih saja menjadikan randai salah satu acaranya sehingga kesenian tradisional tersebut masih bisa kita saksikan. Sayangnya, alur cerita yang disuguhkan TVRI Sumbar, tidak bernuansa kekinian, sehingga kesenian tradisional tersebut kurang atau bisa dikatakan tidak disukai generasi  muda Minangkabau.

Kedepan, ita berharap agar pakai kesenian dari Universitas Negeri Padang berkabolarasi dengan pakar kesenian Islam yang ada di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Tujuannya, tentu memadukan kesenian tradisional randai dengan nilai agama dan budaya. Kemudian, ajak juga pakar budaya dan pakar komunikasi untuk menyatukan visi dan misi menggalakan lagi kesenian tradisional randai dengan sentuhan kesenian kekinian. Yang penting dalam kesenian itu ada nilai buadaya dan agama yang akan disampaikan kepada genarasi muda. Selamat berkabolorasi dengan niat amar makruf nahi mungkar. (Penulis wartawan tabloidbijak)