Belajar dari Gempa Palu

Belajar dari Gempa Palu

Artikel () 29 Oktober 2018 01:27:20 WIB


Mengawali tulisan ini saya turut menyampaikan ucapan belasungkawa kepada masyarakat di Sulawesi Tengah, khususnya Palu, Donggala, dan wilayah lain. Terutama mereka yang menjadi korban. Dan juga kepada warga yang terdampak banjir bandang di Sumbar. Pada saat awal tulisan ini dibuat, baru saja terjadi gempa di Palu yang juga diikuti tsunami dan likuefaksi. Kemudian juga terjadi longsor dan banjir serta banjir bandang di Sumbar. 

Memang selaku manusia yang merupakan makhluk sosial, kita harus berempati dan saling membantu dalam menghadapi bencana yang muncul. Selain itu sebagai hamba Tuhan, umat beragama, sudah sepatutnya kita meningkatkan kualitas rohani agar hidup kita bisa dijauhkan dari bencana dan mendapat perlindunganNya. Selaku manusia yang diberikan ilmu dan pengetahuan, sudah sepatutnya pula kita belajar dari berbagai kejadian bencana yang telah terjadi di Indonesia. 

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran adalah berita Harian Kompas edisi 6 Oktober 2018 yang berjudul “Palu Tumbuh Ingkari Daya Dukungnya”. Saya mengutip paragraf pertama yang ditulis Kompas, “Kerentanan Kota Palu terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi telah lama diketahui pemerintah. Namun, kota ini dibiarkan tumbuh tanpa kendali dengan mayoritas penduduk tak mengenal riwayat bencana di kotanya. 

Kompas menulis, doktor geologi pertama lulusan ITB bernama JA Katili sejak 1970 telah berulang kali menyampaikan tentang kerentanan Kota Palu terhadap gempa bumi dan tsunami. Palu Koro adalah nama sesar yang diberikan Katili karena membelah dari Teluk Palu hingga ke Koro sepanjang 1000 kilometer. 

Pada Kompas edisi 20 Juli 1976 Katili telah menyampaikan kekhawatirannya terhadap sumber gempa yang akan terjadi di Kota Palu. Pada waktu itu Katili menjabat sebagai Dirjen Pertambangan Umum periode 1973-1984. Ia merintis pembentukan Badan Kerja Nasional Gempa Bumi, karena banyak daerah di Indonesia yang rentan terjadi gempa dan tsunami. 

Kompas juga mengutip biografi Katili yang berjudul “Harta Bumi Indonesia (2007)” yang menyebut, “Ada benarnya jika rakyat yang tinggal di Kota Palu takut ancaman tsunami. Sebab, kota itu berada di ujung patahan dan terletak di suatu cekungan tarikan pula”.  

Palu ditetapkan sebagai ibu kota Sulawesi Tengah pada 1964 dan sebagai kota administrattif pada 1978. Dan Katili mempertanyakan mengapa kota yang rawan bencana itu ditetapkan menjadi ibu kota Sulteng. Pada zaman dulu ternyata penduduk di sana lebih senang tinggal di dataran lebih tinggi. Karena mereka tahu tsunami telah terjadi beberapa kali. Sementara itu, sejak 1800an telah terjadi beberapa kali tsunami di dekat Palu, seperti disampaikan dalam kajian Gegar Prasetya (2001). 

Pada 1927, akibat gempa 6,3 menyebabkan tsunami hingga 15 meter. Dan pada 1968, akibat gempa 7,4 menyebabkan tsunami hingga 10 meter. 

Penduduk awal Kota Palu yaitu orang-orang Kaili, selain memilih tinggal di dataran yang lebih tinggi untuk menghindari tsunami, juga mengetahui adanya wilayah yang berpotensi terjadinya likuefaksi. 

Belajar dari hal tersebut, maka sudah sepantasnya seluruh masyarakat yang hidup di lokasi rawan gempa untuk meningkatkan pengetahuannya tentang gempa, tsunami dan likuefaksi. Seperti menanyakan kepada instansi terkait yang memiliki informasi tentang itu. 

Jika orang-orang dulu belajar dari fenomena alam terkait kemunculan bencana, maka pada saat ini dengan kecanggihan informasi dan teknoligi seharusnya masyarakat lebih mudah tahu tentang berbagai potensi bencana yang mengancam kehidupan mereka. (efs)

 

Referensi: Kompas 6 Oktober 2018 

ilustrasi: freefoto.com