Politik Uang di Pilkada Padang

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 07 Mei 2018 14:19:23 WIB


Oleh Yal Aziz
PENGGUNAAN  politik uang dalam Pilkada, jelas  tidak akan menghasilkan para pemimpin daerah yang terbaik. Kenapa? Karena pemimpin yang bersangkutan, jelas  akan tersandera dengan upaya untuk 'balik modal' ketimbang menjalankan kinerja yang baik terhadap  masyarakat, yang menjadi tanggungjawab moralnya sebagai pemimpin.

Tanpa bermaksud menohok dan mencikaraui pasangan calon pemenang dalam pilkada di Sumatera Barat, yang jelas praktik politik uang, juga terdeksi dalam pelaksanaan Pilkada 2018 di Ranah Minang, khusunya di Kota Padang. Tapi untuk membuktikan secara fakta hukum, memang sangat sulit untuk membuktikannya. Kenapa? Karena praktek politik uang di Pilkada Padang bisa kita umpamakan bagaikan kentut, tercium tapi tak terlihat.

Lantas timbul pertanyaan, kenapa politik uang ini terjadi? Karena Pilkada yang terlaksana di Ranah Minang tersebut sangat butuh political cost yang bisa dikatakan luar biasa. Jadi, kandidiat yang banyak uanglah  yang jadi pemenang.  Fakta ini pun tak bisa pungkuri.

Penggunaan politik uang dalam Pilkada bisa juga dikatakan dengan berbagai macam motif dan alasan. Salah satu motifnya  uang untuk petugas saksi di TPS. Jadi, pemberian uang terhadap saksi di TPS, bisa juga dikatakan salah satu dari bentuk politik uang tersebut.

Kemudian, ada pula istilah  uang yang harus distor ke ketua partai dengan dalih beragam. Tanpa punya uang, jangan berharap partai akan meloloskan untuk jadi calon kepala daerah. Masalah jumlahnya, sangat tergantung dengan nego dengan para ketua partai.

Selanjutnya bagi partai, katanya, uang yang diperoleh dari para calon, akan dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin partai. Kesimpulannya, tanpa uang jangan berharap bisa jadi calon dari partai pengusung.

Secara tioritis, mata rantai uang tersebut, jelas tak akan memunculkan calon berkualitas dan  yang akan muncul tentu hanya calon yang banyak punya uang. Fakta ini sesuai juga dengan anekdot masyarakat Medan Sumatera Utara, dengan istilah'"Epeng mangatur nagaraon."

Jadi, kandidat yang tidak memiliki modal atau kemampuan finansial yang banyak dan berlimpah dalam mengarungi Pilkada, sudah  bisa kita diprediksi bakal kalah. Bahkan, suka tidak suka, yang namanya money politic telah menjadi penentu keberhasilan calon kepala daerah.  

Kemudian masalah politik uang ini, ini akibat kita memakai sistem liberalisasi politik dengan pola pemilihan langsung. Jadi bisa juga disimpulkan, sistem ini bisa juga dikatakan menjadi "biang kerok" dengan biaya besar dalam pelaksanaan Pilkada.

Dampak dari penyakit liberalisasi politik ini, sehebat apapun calon, kalau tak banyak punya uang segudang akan gagal memenangkan Pilkada.

Kini, kita hanya bisa berharap kepada KPU dan Bawaslu di Sumatera Barat untuk bisa bersikap dan bertindak tegas dengan masalah ini. Caranya, tentu KPU dan Bawaslu yang lebih paham untuk memberantas persoalan money politic ini.

Jika persoalan sistem pemilihan yang diterapkan sekarang tidak diperbaiki atau dirubah, dikhawatirkan akan melahirkan pemimpin koruptor lainnya. (penulis wartawan padangpos.com)