PERJUANGAN PEREMPUAN MAJU MENJADI WAKIL RAKYAT

PERJUANGAN PEREMPUAN MAJU MENJADI WAKIL RAKYAT

Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 06 Juni 2018 10:09:00 WIB


PERJUANGAN PEREMPUAN MAJU MENJADI WAKIL RAKYAT

 

Jika anda disuruh memilih antara calon legislatif laki-laki ataukah calon legislatif perempuan, siapakah yang akan anda pilih? Mungkinkah yang perempuan?

Pertanyaannya mungkin mudah dijawab kalau seandainya jelas orang yang menjadi caleg perempuan tersebut adalah tokoh yang terkenal sudah punya pengalaman dipanggung politik,punya kapasitas dan kapabilitas sebagai calon wakil rakyat. Namun jika tidak, pada umumnya cenderung memilih caleg laki-laki.

Persoalannya sekarang, seberapa banyak perempuan yang punya cukup kapasitas dan kapabilitas untuk maju menjadi wakil rakyat?Ternyata perjuangannya cukup menantang dan melalui jalan yang tidak mudah.Sehingga dari sisi jumlah, tidak banyak perempuan yang memenuhi syarat ini. Apalagi caleg perempuan mengemban amanat kaum perempuan, yakni menyuarakan aspirasi minoritas (perempuan) yang selama ini dibungkam oleh arus politik dominan. Karenanya kuota 30 % keterwakilan perempuan yang dijamin UU Pemilu bertujuan untuk mengubah ketertinggalan perempuan dibidang politik. Hal ini dimulai dari aturan bersejarah yaitu Pasal 65 UU Nomor 12 tahun 2003 yang pertama kali mengatur partai politik peserta pemilu memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif.

Aturan berubah sejalan perubahan undang-undang pemilu pada tahun 2008 dan 2012 yang mengatur lebih rinci kebijakan afirmatif. Selain pencalonan minimal 30 persen, juga mengatur penempatan perempuan di daftar calon yaitu setiap tiga nama paling kurang terdapat satu perempuan. Aturan tersebut tidak berubah di UU Nomor 7 tahun 2017 sebagai hukum formal pelaksanaan Pemilu 2019 (lihat pasal 245 dan pasal 246 ayat 2).

Pemilu 2019 akan jadi tantangan bagi kaum perempuan untuk bertarung memperebutkan jatah kursi di parlemen.“Tantangan perempuan legislatif pada Pemilu 2019 yakni tantangan internal seperti terbatasnya perempuan yang berkualitas dan memiliki kualifikasi, dan tantangan eksternal seperti kendala kultural yang cenderung patriarkis (laki-laki minded), perempuan lebih cocok sebagai tiyang wingking yang mengikuti laki-laki,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.”Perempuan calon legislatif harus tampil sebagai manusia paripurna yang penampilan politiknya senantiasa mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil. Perempuan calon legislatif harus mampu menebar senyum dan keramahan politik untuk menyapa konstituen baik di pedesaan maupun di perkotaan,” tuturnya.

Sedikitnya ada dua hal yang dibutuhkan dalam persaingan sistem proporsional terbuka, yaitu modal ekonomi dan basis sosial. Perempuan umumnya terbatas dalam dua hal itu. Figur kader perempuan seperti ini cukup banyak ditemui di partai, terutama di daerah: punya basis sosial di akar rumput,  bekerja sukarela membesarkan partai, tangguh menghadapi pasang surut di partai, tetapi modalnya pas-pasan.  Mereka diapresiasi partai sebatas pencalonan di nomor urut tidak potensial (3, 6, 9, dan seterusnya), dikalahkan dari anggota baru—baik laki-laki dan perempuan—dengan modal ekonomi kuat tetapi minim basis sosial.

Oleh karena itu, partai harus mengkombinasikan dua hal ini (modal dan basis sosial) dengan afirmasi internal.  Pertama, afirmasi internal partai dalam bentuk menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu pada sekurang-kurangnya 30 persen dari total dapil. Jadi potensi peluang keterpilihannya tinggi.

Kedua, perempuan dengan afirmasi nomor urut satu diutamakan kader tangguh, memiliki basis sosial di akar rumput, aktif dalam kegiatan partai, tetapi modal ekonomi terbatas.  Dengan demikian, partai tetap bisa mencalonkan orang-orang dengan modal kuat tanpa meminggirkan potensi kader yang bekerja keras membesarkan partai.

Semoga kedepan, di Indonesia semakin banyak perempuan yang siap dan terpilih, maju menjadi wakil rakyat.(SZ)