Usahawan Minang

Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 04 Oktober 2013 02:45:36 WIB


Usahawan Minang terkenal ulet dan tangguh. Mereka juga terkenal sebagai pengusaha perintis. Nyaris tak ada pelosok negara ini tidak ditempati oleh pengusaha asal Minang (Sumatera Barat), dari kota sampai ke pelosok-pelosok daerah, dari Sabang sampai Merauke. Bahkan di manca negara sekalipun, tak susah untuk menemukan pengusaha Minang. Jumlahnya ada ribuan, bahkan mungkin sudah mencapai angka jutaan. Jumlah perantau Minang nyaris setara dengan jumlah penduduk yang berdomisili di kampung asalnya.

Umumnya merekalah yang menyemarakkan kampung masing-masing dengan acara pulang basamo di saat Idul Fitri. Di kampung tak segan-segan mereka merogoh kocek dalam-dalam untuk membantu anak kemenakan dan masyarakat kampungnya. Secara sukarela mereka menyinsingkan lengan membangun mesjid, mushalla, jalan, jembatan, sekolah dan berbagai prasarana lainnya. Puluhan juta bahkan sampai miliaran rupiah disumbangkan untuk kemajuan kampung masing-masing.

Tentu saja sumbangan dan bantuan tersebut sangat besar artinya bagi kemajuan daerah masing-masing dan Sumatera Barat umumnya. Kepada mereka patut kita acungkan jempol dan menyampaikan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya. Sumbangan dan kepedulian mereka sungguh tak terhingga nilainya.

Untuk menghargai semua itu, saya memberikan apresiasi. Di Sulit Air, saya bersama Bupati Solok hadir langsung pada acara Mubes Yayasan Sulit Air Sepakat (SAS) di Nagari Sulit Air Sabtu (10/8) lalu. Padahal saat itu baru hari ke 3 lebaran, masih suasana libur lebaran, macet dimana-mana, perjalanan ke Sulit Air juga cukup melelahkan dan banyak tantangan.

Besoknya Minggu, masih dalam suasana libur dan lebaran, di Nagari Lolo-Surian, perbatasan Kabupaten Solok dan Solok Selatan, kami bersama Mendagri Gamawan Fauzi, Wamendiknas Musliar Kasim, dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya, ikut hadir pada peresmian mesjid dan madrasah di sana. Sekali lagi, mesjid dan madrasah megah yang bernilai milyaran rupiah itu adalah sumbangan perantau Minang setempat yang dimotori oleh pengusaha Minang rantau Azmin Aulia.

Dari dulu hingga kini, etnis Minang memang terkenal sebagai wirausahawan, atau pedagang secara umum. Karena itu potensi ini harus terus dipupuk dan dikembangkan. Dampaknya terlihat jelas bahwa wirausaha Minang mampu membuka lapangan kerja baru, menggerakkan pertumbuhan ekonomi di tempat ia berdomisili serta berkontribusi bagi pembangunan di kampung halaman.

Yang jadi fikiran saya adalah dari jutaan wirausahawan Minang tersebut, kenapa tak banyak yang muncul menjadi pengusaha besar? Memang ada yang muncul jadi pengusaha kelas kakap atau bahkan konglomerat, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Makin banyak pengusaha besar yang muncul, khususnya putra-putri Minang, tentu makin besar kontribusinya bagi pembangunan daerah juga secara nasional tentunya.

Menurut saya masalahnya terletak pada sistem dan manajemen usaha yang digunakan. Salah satu manajemen yang diterapkan adalah manjemen keluarga. Pada sebuah rumah makan Minang misalnya, yang bertindak sebagai kasir adalah istri atau anak pemilik rumah makan. Kepala juru masak adalah sepupu atau masih saudara pemilik rumah makan. Dan seterusnya yang masih berhubungan keluarga dengan pemilik rumah makan.

Di satu sisi sistem ini memang memiliki keunggulan. Karena masih berhubungan keluarga, tim kerja merupakan tim yang solid dan kompak. Namun di sisi lain sistem ini memiliki kelemahan, usaha tidak bisa dikembangkan lebih besar karena terbatas jumlah SDM yang masih berhubungan kekerabatan. Kelemahan lain, jika pemilik usaha meninggal dunia misalnya, usaha tersebut juga ikut tenggelam dan hilang. Ada banyak contoh nyata yang bisa kita lihat, usaha yang semula berjaya, dalam waktu singkat menghilang akibat pemilik (tokoh sentral) usaha tersebut meninggal dunia atau tak mampu lagi menjalankan usahanya karena lanjut usia.

Kalau kita lihat perkembangan saat ini sejumlah pengusaha baik di tingkat nasional maupun manca negara telah melakukan modifikasi terhadap model-model dan pola manajemen usaha. Mereka telah merumuskan sistem dan pola-pola baru sehingga usaha mereka bisa dikembangkan nyaris tanpa batas dan menembus batas-batas wilayah dan negara. Mereka tak butuh tokoh sentral, karena tanpa kehadiran tokoh sentral pun usaha tersebut tetap jalan. SDM yang digunakan juga tidak harus berhubungan keluarga dengan pemilik.

Bagaimana dengan pengusaha Minang ? Kaki lima atau rumah makan bisa jadi merupakan langkah awal dan pembentukan diri untuk memulai memasuki dunia usaha, namun setelah itu harus segera ditemukan model-model atau jalan usaha lain yang lebih mapan. Pengusaha Minang terkenal sebagai pengusaha perintis, saya yakin dan berharap para pengusaha kita segera memaknai situasi yang terus berubah dan menemukan formula manajemen baru untuk mengantasipasi kondisi dan situasi yang terus berubah tersebut.

Semoga pengusaha Minang terus eksis dan ke depan banyak bermunculan pengusaha-pengusaha Minang baru yang terdepan, besar, tangguh namun tetap peduli dengan kampung halaman. Amin... (Irwan Prayitno)