Potret SDM Indonesia
Artikel () 21 Mei 2018 22:00:18 WIB
Harian Kompas edisi 19 Mei 2018 dalam salah satu halamannya memuat artikel opini Menteri Ketenagakerjaan RI, M. Hanif Dhakiri yang berjudul Lompatan SDM Indonesia. Di awal tulisannya Hanif menyebut rencana pemerintah yang akan memusatkan investasi pembangunan SDM setelah sebelumnya berkonsentrasi di pembangunan infrastruktur. Hanif memandang pentingnya pendidikan vokasi dan pemagangan sebagai bekal ketrampilan warga negara untuk memasuki dunia kerja.
Di pemaparan berikutnya Hanif juga menyatakan bahwa sudah saatnya kebijakan tentang angkatan kerja dan tenaga kerja dengan melalukan upskilling dan reskilling yang mempengaruhi daya saing sejajar dengan kebijakan fiskal dan moneter. Bahwa ketiganya bisa menjadi penggerak ekonomi yang signifikan.
Berkaitan dengan hal tersebut Kementerian Ketenagakerjaan sedang mengupayakan kebijakan terkait ketenagakerjaan, yaitu dana pengembangan keterampilan dan tunjangan pengangguran. Ini merupakan sebuah jawaban terhadap peran negara di bidang ketenagakerjaan.
Dana pengembangan keterampilan akan bersumber dari APBN dan iuran industri yang dikelola oleh lembaga semacam LPDP (lembaga pengelola dana pendidikan). Dana pengembangan keterampilan telah menjadi kebijakan di negara maju maupun negara berkembang. Beberapa di antaranya adalah Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Brasil.
Salah satu contoh keberhasilan dana pengembangan keterampilan adalah yang dilakukan di Brasil. Brasil telah melaksanakan pelatihan kerja sebanyak 2 juta pertahun dengan didukung bekerjanya 500 balai latihan kerja yang ada di dalam industri maupun luar industri. Brasil telah memulainya sejak 1942.
Hanif kemudian memetakan SDM Indonesia saat ini. 60 persen angkatan kerja tamatan sekolah menengah ke bawah. Dan frata-rata angkatan kerja memiliki keterampilan rendah. Kemudian, selama 4 tahun terakhir lapangan kerja yang ada tidak berhasil diisi oleh oleh orang yang memiliki keahlian yang cocok. Dan, lapangan kerja yang ada tidak berhasil diisi oleh orang yang terampil dan memadai.
Hanif mengutip laporan McKinsey Global Indonesia yang menyebut perlu 58 juta tambahan pekerja terampil di Indonesia hingga 2030. Artinya sekitrar dua tahun dibutuhkan 2 juta pekerja terampil. Namun lembaga yang ada di Indonesia baik dari pemerintah maupun swasta hanya mampu memenuhi 500.000 setahun. Ini yang menyebabkan lulusan SMK banyak menganggur. Perusahaan kesulitan mencari tenaga kerja manajerial dan entry level. Ada empat kendala yang menyebabkannya yaitu bahasa inggris, computer, kepemimpinan, dan soft skill.
Jika tidak diatasi segera maka pasar tenaga kerja akan mengalami ketimpangan antara pekerja terampil dan yang tidak.
Di akhir tulisannya Hanif memberikan solusi yaitu, memperluas volume dan kualitas pelatihan vokasi dan pemagangan kerja. Kemudian membuka peran aktif industri-perusahaan sebagai sektor unggulan dalam upskilling dan reskilling angkatan kerja. Kemudian memulai pendanaan jangka menengah berkelanjutan untuk pelatihan vokasi dan pemagangan kerja. Terakhir, memulai melaksanakan skema tunjangan pengangguran, jika terjadi alih kerja dan pemutusan kerja.
Apa yang disampaikan oleh Hanoif Dhakiri ini merupakan sebuah upaya menanggulangi permasalahan SDM di Indonesia terutama angkatan kerjanya. Ini perlu dukungan karena merupakan sebuah hal positif di mana di negara lain sudah dilakukan dan berhasil. (efs)
Referensi: Kompas, 19 Mei 2018
ilustrasi: freefoto.com