Mengenang Sejarah Kereta Api di Ranah Minang
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 25 April 2018 13:40:39 WIB
Oleh Yal Aziz
UJI coba perjalanan kereta api dari Simpang Haru Kota Padang ke Bandara Internasional Minangkabau, Kabupaten Padang Pariaman yang diikuti Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Selasa, 24 April 2018, mengingatkan kita kepada transfortasi bergensi masa lalu itu. Kenapa? Karena bagi masyarakat Sumatera Barat, alat transfortasi kereta api sudah tak asing lagi. Hanya saja, jasa transfortasi ini sudah lama tak dilirik masyarakat, karena menjamurnya mobil angkutan umum, baik berupa bus, maupun angkot.
Kemudian, meskipun kereta api di Sumbar belum punah, tapi frekwensi perjalannya, selain hanya dari Kota Padang ke Kota Pariaman, jumlah penumpangnya pun terbatas, itu pun hanya membawa penumpang kebanyakan pedagang.
Namun di zaman now, ternyata jasa angkutan kereta api mulai dilirik lagi dan bahkan bentuk kereta api jauh berbeda dengan jasa kereta api masa lalu. Bahkan, jenis kereta api yang akan melayani jasa angkutan masyarakat keberbagai daerah tersebut, selain disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini, juga dengan kecepatan tinggi. Aman dan nyaman.
Dulu, kalau kita berbicara sejarah kereta api masa lalu, ternyata keberaraan Perkeretaapian di Sumatera Barat, bisa dikatakan tidak terlepas dari kebijakan ekonomi regional pemerintah Kolonial Belanda di Sumatera Barat pada abad ke-19. Pada saat itu Pemerintah Kolonial Belanda menyusun sebuah proyek pembangunan ekonomi yang lebih dikenal dengan proyek tiga serangkai, yaitu ; (1) Pembangunan Tambang Batu Bara Ombilin (TBO), (2) Pembangunan Jaringan Kereta Api dan (3) Pembangunan Pelabuhan Teluk bayur
Sehingga kebijakan ekonomi tersebut merupakan ‘Pilot Project Sistemic linkage’ yang maksudnya jika salah satu dari ketiga pembangunan tersebut gagal maka hilanglah fungsi yang lainnya. Karena itu siapapun yang mengerjakannya harus mengerjakan sekaligus.
Untuk membangun proyek tiga serangkai ini (Tambang Batu bara Ombilin, Jalur Kereta Api dan Pelabuhan Teluk Bayur/Emmahaven) sampai tahun 1899 Pemerintah Kolonial Belanda telah mengeluarkan investasi yang mencapai 35.034.000 Gulden.
Berdasarkan data Gedenkboek der Staatsspoor en Tramvegen in Nederlandsch Indie 1875-1925 terbitan tahun 1925 (Buku peringatan kereta Api Pemerintah dan Train di Hindia Belanda 1875-1925) dituliskan, bahwa pembuatan jalan kereta api di Sumatera Barat dilaksankan secara bertahap dan bersambung dari tahun ke tahun.
Kemudian untuk perencanaan pembangunan jalur transportasi ini sebelumnya seorang Ahli Tambang Belanda Ir.Willem Hendrik de Greeve si penemu batubara Ombilin-Sawahlunto pun mendapat tugas ekspedisi lanjutan menelusuri kemunginan jalur transportasi batubara Ombilin melalui jalur Pantai Timur. Sayang sekali de Greeve tewas hanyut terbawa arus deras batang Kuantan tahun 1972. Peristiwa naas itu terjadi setahun setelah laporan hasil eksplorasi mengenai kandungan batubara Ombilin-Sawahlunto di publikasi ditahun 1871. De Greeve dimakamkan dekat Durian Gadang (sekarang masuk kedalam wilayah kabupaten Sijunjung-Sumatera Barat).
Namun, pada bulan Maret 1891, usaha itu dilanjutkan oleh seorang insinyur tambang bernama Ijzerman yang melakukan survey trayek sepanjang 300 KM dari Muaro Kalaban menuju Pantai Timur dalam rangka membangun jaringan lalulintas alternatif untuk pengangkutan batubara Ombilin keluar Sawahlunto.
Sementara itu proyek pembangunan jalan kereta Api dari Pulau Air-Muaro Kalaban secara bertahap terus dilakukan, yaitu ; (1)Pembuatan jalan kereta api dari Pulau Air sampai ke Padangpanjang 71 KM selesai dalam bulan Juli 1891. ( 2)Padang Panjang ke Bukittinggi 19 KM selesai pada bulan Nopember 1891. 3)Padang Panjang-Solok 53 Km selesai pada 1 Juli 1892, (4)Solok- Muaro Kalaban 23 Km dan Padang-Teluk Bayur 7 Km. Kedua jalur ini selesai pada tanggal yang sama yaitu 1 Oktober 1892, (5)Jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahlunto dengan menembus sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam sepanjang hampir 1 Km (835 Meter) selesai pada 1 januari 1894.
Dengan terhubungnya jalur Kereta Api di beberapa tempat di Sumatera Barat yang diiringi dengan pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur jalan, maka aktifitas kereta api semakin lama semakin nampak keberadaannya di Sumatera Barat.
Namun pada akhir tahun 2000 produksi batubara di Sawahlunto semakin berkurang. Secara otomatis aktifitas dan keberadaan kereta api di Sumatera Barat juga terimbas nyata. Kalaupun beroperasi hanya sebagai alat transportasi Semen Padang dari Indarung ke Teluk Bayur Sumatera Barat.
Usaha mendiversifikasi peran kereta juga dirintis untuk mempertahankan eksistensinya dengan kereta api wisata yang melayani Padang-Pariaman pada tahap awal. Kedepan, tampaknya jasa angkutan kereta api bakal menjadi angkutan primadona lagi. Soalnya, program kereta api ini sudah masuk dalam rencana nasional.
Kini, sebelum pengoperasian kereta api, ada baiknya juga dibahas masalah kecelakaan akibat kereta api. Salah satu faktor penyebabnya yaitu banyaknya perlintasan tanpa palang pintu sepanjang rel kereta api dari Padang hingga Pariaman. Bahkan berdasarkan data dari PT.KAI Divre II Sumatera Barat, sejak tahun 2016 hingga Juli 2017, setidaknya terjadi 35 kali kecelakaan yang melibatkan kereta api.
Dari 35 kali kecelakaan tersebut, 27 kali melibatkan kendaraan roda empat dan roda dua. Sebagian besar, kecelakaan tersebut terjadi di jalur perlintasan tanpa palang pintu. Sisanya kecelakaan yang mengenai pejalan kaki. Akibat kecelakaan tersebut, sebanyak 48 orang menjadi korban meninggal dunia dan luka-luka. Delapan diantaranya meninggal ditempat kejadian.
Sebelum banyak memakan korban, ada baiknya juga pemerintah Sumatera Barat berpedoman kepada UU Nomor 23 Tahun 2017 & Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Perkereta Apian dan Standar Keselamatan Perkereta apian, terutama tentang perlintasan sebidang. Semoga