New Urban Life style; Ngopi-ngopi Vs Ketahanan Budaya

Artikel () 23 September 2013 05:29:05 WIB


NEW URBAN LIFE STYLE; NGOPI-NGOPI VS KETAHANAN BUDAYA.

H. Novrial, SE, MA, Ak, Sekdis Budpar Prov. Sumatera Barat

 

“Ngopi, gaya hidup perkotaan”, begitu kira-kira judul liputan pada harian lokal Singgalang hari ini, yang menginformasikan peresmian sebuah “Coffee House” modern di Padang. Pemahaman sang owner adalah untuk menangkap peluang “consumer 3.000”, istilah untuk orang yang baru saja meningkat kesejahteraannya dengan indikator ekonomi tertentu, yang suka berpakaian simple dan sporty, menenteng beberapa gadget terbaru sekaligus, familiar dg credit card, ray-ban friendly, mobil kinclong dan suka nongkrong di tempat-tempat yang bisa meneguhkan identitas, jati diri dan status sosial baru mereka seperti Coffee House ini. Consumer 3.000 ini adalah ceruk pasar yang sangat luas seiring mulai membaiknya tingkat perekonomian Indonesia, yang menawarkan peluang pasar tenaga kerja baru dengan remunerasi tinggi dengan alasan efektifitas dan efisiensi pembinaan SDM, sehingga sangat jamak terdengar akrobatik loncat karir seseorang dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.

 

Ngopi-ngopi jenis pertama di Kota Padang sering dilakukan di pagi hari, sebagai suatu kebiasaan warga Kota, terutama yang tidak sempat sarapan di rumah. Biasanya mereka datang untuk sarapan pagi mulai jam 06.00 sd 10.00, bertemu dengan komunitas yang sama, ngopi dan makan skala sarapan, menginformasikan dan membahas berbagai hal, mulai dari yang tidak penting sampai yang teramat penting. Lokasi kedai kopi jenis ini umumnya terlokalisir di daerah pecinaan, karena memang sebahagian besar pemiliknya adalah etnis tionghoa. Pada kedai kopi jenis ini, segmen pasarnya umumnya beragam, dan tujuan ke kedai kopi hanyalah sarapan pagi dan membina hubungan sesame komunitas tertentu. Jenis kedua ngopi-ngopi adalah untuk segmen pasar “consumer 3.000”, yang datang ke Coffee House yang jadwalnya tergantung maksud dan tujuan tertentu seperti pertemuan bisnis; perkenalan usaha, lobby, finalisasi pekerjaan dan selebrasi keberhasilan suatu pekerjaan; menunggu jadwal keluarga (istri, suami dan anak-anak untuk pulang bersama); serta reakreasi antar kolega dan keluarga yang biasanya diadakan sore atau malam hari.

 

Dua ilustrasi gaya hidup dalam format ngopi-ngopi tadi mempunyai plus-minus terhadap ketahanan budaya lokal dalam konteks; tujuan, kondisi tempat, jenis makanan, asoseris (pertunjukan/ musik) dan lain sebagainya. Sebagai suatu telaahan tujuan ngopi-ngopi, rasanya baik ilustrasi pertama maupun kedua, mungkin akan mempengaruhi budaya secara tidak langsung, disaat terjadi pembiaran kondisi dengan tidak adanya sarapan pagi di rumah yang disediakan nyonya rumah. Suami, istri dan anak-anak, begitu keluar rumah mempunyai dunia masing-masing untuk mendapatkan sarapan paginya, yang di suatu waktu akan mempengaruhi kualitas silaturrahim antar keluarga. Sebagai suatu pertemuan bisnis mungkin lebih dapat dimaklumi, disaat kantor saat ini dirancang seefisien mungkin sehingga tidak dimungkinkan untuk menerima dan memfasilitasi tamu dan jauh lebih efektif jika dilakukan disuatu tempat yang lebih leluasa dalam banyak hal. Yang mungkin perlu dikaji lebih dalam adalah kemungkinan ekses sosial yang mungkin timbul saat ngopi-ngopi juga dilakukan sore dan malam, baik dilihat dari titik singgung lahirnya ikatan emosional baru antar komunitas maupun dari sisi semakin berkurangnya waktu untuk keluarga dan buah hati untuk membentuk rumah tangga yang bahagia ditengah berbagai godaan global.

 

Kondisi tempat juga rasanya memberikan peluang bagi degradasi budaya, khususnya bagi jenis Coffe House yang terlalu banyak memasukkan unsur modern futuristik dalam interior tempatnya. Ambil lah contoh suasana lighting yang cenderung redup untuk menimbulkan kesan hommy dan cozy, table yang menyediakan set untuk 2 orang pasti letaknya di sudut dan untuk yang lebih banyak di tengah ruangan, dimana secara tegas bisa dibedakan areal untuk tamu yang menginginkan privacy dan areal untuk tamu yang membutuhkan tempat untuk selebrasi. Proses pelemahan budaya yang mungkin terjadi adalah saat setiap pengunjung merasa “lebih dirumah” dibandingkan di rumah sendiri yang pada suatu titik akan memindahkan fungsi ruang keluarga dan ruang santai dari rumah ke Coffee House. Ini tentunya juga akan memperlemah fungsi rumah dari definisi istana suatu keluarga menjadi hanya tempat beristirahat malam harinya. Nilai-nilai budaya khususnya tentang kualitas keluarga sangat mungkin terkikis karena transformasi gaya hidup ini.

 

Pada umumnya jenis makanan yang ditawarkan di Coffee House adalah jenis makanan yang tidak pernah ada di rumah manapun. Pertama karena penurunan kemampuan memasak para ibu-ibu generasi baru, konsep wanita karir yang semakin diterima dan budaya permisif dari semua anggota keluarga untuk makanan luar yang bisa dipesan kapanpun dari gerai makanan yang sudah mempunyai brand tertentu. Kekhawatiran kita suatu waktu sama dengan diatas, sebuah dapur yang saat ini sudah diklasifikasikan sebagai “dapur bersih” atau pantry, benar-benar bersih tanpa adanya interaksi sosial antar anggota keluarga dan tidak adanya transfer ilmu memasak dari seorang ibu ke anak gadis sebagaimana yang kita rasakan dulu. Sama halnya dengan asoseris seperti hiburan/ musik. komunitas ngopi-ngopi cenderung familiar dengan TV big-screen yang menampilkan film-film Hollywood dan musik mancanegara sehingga suguhan pertunjukkan seni dan musik tradisional menjadi benda asing di mata dan telinga mereka. Hal ini tentunya menjadi paradoks disaat komunitas/ sosialita dari Negara lain yang lebih maju datang ke Negara berkembang karena mencari sesuatu yang asli, alamiah dan penuh dengan estetika lokal yang bervariasi, sebaliknya disisi lain komunitas consumer 3.000 kita yang nantinya akan menemani mereka hanya mampu membawa mereka ke Coffee House dan bercerita tentang sesuatu yang sudah tidak asing di Negara mereka