Tantangan Baru Pemilihan "Uni-Uda" Sebagai Duta Wisata Sumatera Barat

Artikel () 23 September 2013 05:23:39 WIB


TANTANGAN BARU PEMILIHAN “UNI – UDA” SEBAGAI DUTA WISATA SUMATERA BARAT

H. Novrial, SE, MA, Ak, Sekdis Budpar Prov. Sumatera Barat

 

Agenda, program sekaligus ritual tahunan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata baik Kabubaten/ Kota maupun Provinsi adalah pemilihan “Uni- Uda” yang dimulai tahapannya dari tingkat Kabupaten/ Kota sampai ke tingkat Provinsi. Di semua acara pemilihan tersebut yang pernah saya ketahui, imej dan embel-embel yang selalu dilekatkan kepada Uni- Uda yang terpilih adalah juga sebagai “Duta Pariwisata Kabupaten/ Kota atau Provinsi”, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya kelak setelah terpilih adalah sebagai salah satu ujung tombak pemasaran potensi wisata daerahnya kepada wisatawan yang akan dan sedang berkunjung ke daerahnya. Korelasi antara definisi “Uni – Uda” dengan tugas pokok dan fungsi sebagai “Duta Wisata” adalah korelasi positif yang akan terjabarkan secara detail dalam persyaratan, proses seleksi dan evaluasi penugasan tersebut dengan indikator-indikator yang jelas sampai terpilihnya Uni – Uda tahun berikutnya.

 

Pemahaman baru pemilihan sejenis, apapun nama yang dilekatkan, sudah bergeser dari indikator yang hanya berorientasi “estetika fisik”; apakah cantik, ganteng, ayu, gagah, proporsional, seimbang dan lain sebagainya, menjadi indikator “eksternal – internal” yang biasanya di sebut sebagai 3 B; brain, behavior dan beauty. Masalahnya sekarang apakah ketiga indikator tadi mempunyai bobot yang sama sehingga tidak berpengaruh pada urutan penyebutannya, atau memang mempunyai nilai prioritas yang akan terbaca pada urutan penyebutannya. Saya mencoba memposisikan urutannya dimulai dari brain, behavior dan beauty, karena menghubungkannya dengan tupoksi sebagai Duta Wisata, yang memang harus dimulai dari kecerdasan akademis, diikuti oleh tingkah laku yang sesuai sebagai seorang duta dan terakhir diakhiri dengan penampilan fisik yang menyenangkan bagi pihak-pihak yang ingin dilayani.

 

Pada banyak kasus, indikator “brain” lebih dimaknai semua seorang sebagai kemampuan berbahasa asing yang memang menjadi target utama setiap daerah untuk menggaet wisatawan mancanegara sebanyak-banyaknya ke daerah masing-masing. Pemaknaan tersebut sampai tahap tertentu lebih banyak benarnya, karena pada umumnya tingkat kesulitan berbahasa asinglah yang sering menjadi penghambat promosi budaya dan pariwisata suatu daerah, sehingga dibutuhkan sosok Uni – Uda yang mampu berkomunikasi dengan bahasa asing sekurangnya bahasa inggris untuk melayani dan memfasilitasi wisatawan-wisatawan tersebut. Permasalahan akan muncul disaat “kemampuan” berbahasa inggris itu tidak didukung oleh pemahaman substantif yang memadai, sehingga sering timbul kesan fasilitasi tersebut hanya sebatas memfasilitasi atau dengan kata lain menjadi penterjemah bagi wisatawan yang sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang budaya dan pariwisata secara detail. Contoh sederhananya adalah, disaat wisatawan ingin tahu legenda suatu situs/ benda cagar budaya, sejarah suatu daerah, makna suatu perayaan, keunggulan dan kelemahan suatu destinasi wisata, maka yang sangat mungkin terjadi adalah sang Duta Wisata tadi akan lebih memilih memposisikan diri sebagai penterjemah dari narasumber lokal untuk diterjemahkan pada wisatawan yang bertanya tadi.

 

Indikator “behavior” lebih bernuansa universal dengan keramahtamahan yang dapat diterima baik oleh wisatawan yang datang apalagi oleh masyarakat yang ada di lokasi destinasi budaya dan destinasi wisata di daerah tersebut. Pada banyak kasus, keramahtamahan tidak akan terlalu banyak dilema jika dihubungkan dengan kebutuhan/ permintaan wisatawan, karena standar keramahtamahan wisatawan biasanya lebih “longgar”, namun sebaliknya juga sangat “ketat” untuk norma-norma yang sangat prinsip seperti kejujuran, kedisiplinan janji dan lain sebagainya. Behaviour sering bermasalah, disaat seorang duta, lebih banyak bermasalah dengan masyarakat karena “ketidaksesuaian” tingkah laku pada waktu menjembatani wisatawan dengan lingkungan masyarakat di suatu objek atau suatu atraksi. Banyak contoh yang membuktikan bahwa terkadang tingkah laku seorang duta malah lebih tidak bisa diterima daripada tingkah laku wisatawan itu sendiri. Hal tersebut mungkin karena antusiasme yang berlebihan, sehingga sering fasilitasi terhadap wisatawan mengorbankan perasaan masyarakat, walaupun sering wisatawan tidak bermaksud seperti itu.

 

Indikator “beauty” lebih kepada nilai estetika yang secara otomatis akan berhubungan dengan rasa percaya, rasa senang dan rasa terfasilitasi wisatawan pada suatu sisi dan masyarakat lokal disisi lain oleh sang duta. Semua orang akan senang bila berinteraksi dan berkomunikasi dengan seseorang yang lebih bersih dan lebih enak dipandang mata daripada seseorang dengan penampilan sebaliknya. Beauty tidak hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang secara fisik terlihat, akan tetapi juga sebagai sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh lawan interaksi/ komunikasi, atau sering disebut sebagai “inner-beauty”, sesuatu yang muncul dari dalam. Dengan beauty tersebut, lengkaplah sudah syarat menjadi seorang duta, mulai dari brain yang kapabel, behavior yang dapat diterima dan beauty yang membuat orang nyaman.

 

Yang perlu disiapkan sekarang adalah syarat-syarat dan metode seleksi awal, substansi dan pola pembekalan yang efektif dan sesuai dengan tantangan dan kondisi, kualifikasi, teknik penilaian akhir dan tim penguji yg berkualitas, arahan tupoksi yang efektif, pelibatan yang optimal dalam program/ kegiatan Dinas dan monitoring/ evaluasi secara komprehensif. Sekiranya hal-hal tersebut dapat dilaksanakan secara holistik dan konsisten, maka tantangan Uni – Uda sebagai Duta Wisata akan dapat terjawab sebagai salah satu ujung tombak pemasaran potensi budaya dan pariwisata daerah.