Inflasi dan Konsumsi

Inflasi dan Konsumsi

Artikel () 09 Desember 2017 09:48:21 WIB


Harian Bisnis Indonesia edisi 5 Desember 2017 menurunkan berita di salah satu halamannya dengan judul, “Inflasi Inti Rendah: Penurunan Konsumsi Masyarakat Berlanjut”. Di paragraf awal Bisnis Indonesia memuat informasi BPS bahwa inflasi inti November 2017 0,13 persen dan merupakan rekor terendah sejak 2004.

Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: interaksi permintaan-penawaran. Juga lingkungan eksternal seperti: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang. Sedangkan inflasi non inti adalah komponen inflasi yang cenderung tinggi. 

Jika melihat judul yang dimuat yaitu penurunan konsumsi masyarakat yang kian berlanjut, dan mungkin dibuktikan dengan adanya inflasi inti terendah, ternyata dibantah oleh Kepala BPS. Alasannya karena perlambatan konsumsi tidak terjadi di semua sektor. Ini dibuktikan dengan konsumsi masyarakat dalam hal kesenangan (leisure) justru meningkat. Yaitu hotel dan pariwisata.

Jika dibandingkan angka inflasi inti November 2017 dengan November 2015 dan 2016 terihat bahwa pada 2017 adalah inflasi inti terendah. Tahun 2015 inflasi inti 0,16 persen. Dan tahun 2016 0,15 persen.

Jika Kepala BPS menyatakan bahwa inflasi inti yang rendah tidak ada kaitan dengan penurunan daya beli, maka ada pula yang beranggapan bahwa inflasi inti yang rendah mencerminkan sisi permintaan yang rendah. Di mana konsumsi rumah tangga mengalami penurunan. Jika inflasi inti tiga tahun terakhir menunjukkan tren menurun kemungkinan memang terjadi masalah dalam daya beli, pendapatan riil turun, kepercayaan konsumen rendah, atau keinginan menabung, menyimpan uang, menginvestasikan uang lebih dipilih masyarakat.

Jika memang terjadi penurunan konsumsi masyarakat, maka masih ada jalan lain untuk membantu hal ini yaitu belanja pemerintah bisa terserap atau berpengaruh di masyarakat. Beberapa ekonom berpendapat bahwa belanja pemerintah sangat membantu membaiknya konsumsi masyarakat.

Dalam berita yang lain Bisnis Indonesia menampilkan judul “Kinerja APBN 2018: Penyaluran Belanja Diprecepat”. Di isi berita dijelaskan bahwa penyaluran belanja diprcepat  ke kementerian, lembaga-lembaga, dan daerah untuk meningkatkan kualitas penyerapan anggaran. Dan ini diharapkan bisa mempercepat pemerataan pembangunan. Dan manfaatnya bisa dirasakan segera oleh masyarakat. Rincian belanja pemerintah untuk tahun 2018 yang berjumlah Rp2.220,7 triliun adalah: belanja pemerintah pusat Rp1.454,5 triliun, transfer ke daerah dan dana desa Rp766,2 triliun.

Di balik itu semua, perlu juga diakui bahwa naiknya tarif listrik turut mempengaruhi pendapatan riil yang bisa digunakan oleh rumah tangga. Selain itu di sisi lain untuk mengatasi inflasi yang biasanya naik sudah dibentuk tim yang salah satu tugasnya menindak para penimbun. Namun saat ini berita seperti itu tidak terlihat di media. Sehingga terkesan turut membenarkan adanya pelemahan daya beli.

Saya mendapatkan informasi bahwa animo masyarakat untuk membeli sepeda motor kian menurun sehingga penjualan sepeda motor juga mengalami penurunan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh naiknya tarif listrik maupun harga-harga lainnya sehingga rumah tangga menyusun prioritas penggunaan anggaran.

Berdasarkan data BPS, ada 361 barang yang naik harganya, dan merupakan bagian dari inflasi inti. Namun kenaikan itu dianggap tidak signfikan karena berkontribusi 0,08 persen terhadap inflasi. Maka, jika melihat hal ini, inflasi yang rendah dan juga permintaan yang rendah, ada kelianan atau kekhususan yang perlu dilihat. Karena isu generasi milenial yang dianggap mempengaruhi tren ekonomi perlu juga menjadi perhatian, di mana pola konsumsinya disebut berada di kuar kebiasaan sehingga menyulitkan dilakukannya analisa ekonomi terhadap fenomena yang sedang berkembang saat ini. (efs)

 

Referensi: Bisnis Indonesia, 5 Desember 2017

ilustrasi: freefoto.com