Gawat, Peredaran Narkoba di Sumbar Makin Mengkhawatirkan
Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 22 Maret 2017 10:37:38 WIB
Gawat, Peredaran Narkoba di Sumbar Makin Mengkhawatirkan
Oleh: Noa Rang Kuranji
Masyarakat Minang dari dulu terkenal sangat fanatik beragama, khususnya dalam menjalankan syariat Islam. Sehingga tidak salah kalau Ranah Minang itu terkenal dengan falsafah “Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah”. Artinya, ajaran Islam memang sudah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Minang (Sumbar) secara turum-temurun hingga sekarang dan budaya Minang itu sejalan dengan nilai-nilai agama Islam yang mayoritas dianut masyarakat Sumbar.
Tapi sayang, akibat pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi, sebagian generasi muda Minang kini telah menjadi korban peredaran Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya) oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggungjawab. Bahkan, menurut data Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumbar tahun 2016 lalu mencatat, jumlah pengguna Narkoba di Sumbar telah mencapai 65.000. Ini jelas mengkhawatirkan dan bisa mengancam masa depan generasi muda di daerah ini.
Secara etimologi, Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya. Obat-obat yang berbahaya yang dimaksudkan adalah yang semacamnya, seperti heroin, ganja, kokain, ekstasy, futaw, dan lain-lain. Secara etimologi, kata narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “narkoun” yang artinya “membuat lumpuh atau membuat mati rasa”.
Namun secara terminologi, pengertian narkoba didasarkan pada hukum dan Undang-Undang yang berlaku yakni UU No. 22/1997 tentang Narkotika, bahwa pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika tersebut terdapat dalam bentuk: alamiah (opium), semisintetik (morphin dan heroin), dan dalam bentuk sintetik (pethidin dan methadon). Narkotika alam diperoleh dari tumbuh-tumbuhan:
Papaver somniferum, menghasilkan opium dan turunannya morphin dan heroin (putaw, pete).
Cannabis sativa, menghasilkan ganja/marihuana.
Erythroxylaon Cocae, yang menghasilkan cocain (crack).
Dengan demikian, ganja, morphin, opium, heroin adalah merupakan bagian atau jenis dari narkotika. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa morphin adalah nama zat yang diekstrasi dari opium dengan proses maserasi opium dalam air kemudian diendapkan dengan amonia, digunakan sebagai obat pengfhilang rasa nyeri dan penentram, digunakan dengan takaran besar berkhasiat sebagai obat bius dan bila sering dipakai takarannya makin lama terpaksa makin diperbanyak sehingga mengakibatkan kecanduan.
Dan heroin adalah nama bubuk kristal putih yang dihasilkan dari morpin. Sedangkan ganja sebagaimana disebutkan di atas berasal dari tumbuhan cannabis sativa adalah berupa daunnya yang dapat memabukkan dan sering dijadikan ramuan tembakau untuk rokok.
Adapun ecstasy adalah zat atau bahan yang sebetulnya tidak termasuk narkotika, melainkan termasuk zat adiktif, artinya zat yang dapat mengakibatkan
adiksi (kecanduan atau ketagihan dan ketergantungan). Ecstasy bukanlah nama obat yang dikenal di dunia kedokteran, ecstasy hanyalah nama yang dipakai di pasaran gelap (nama jalanan). Zat aktif yang terkandung dalam ecstasy adalah amphetamine, suatu zat yang tergolong stimulansia (perangsang).
Demikian juga istilah futaw termasuk jenis yang tidak ditemukan dalam Undang-undang Narkotika dan tidak digunakan dalam istilah dunia kedokteran, tetapi kandungannya adalah zat aktif berupa bubuk atau kristal heroin.
Dalam bahasa Arab jenis-jenis obat tersebut di atas diistilahkan dengan hasyisy. Hasyisy secara bahasa berarti rumput kering, namun biasanya dari istilah ini diartikan sebagai ganja yng berasal dari rumput kering dari tumbuhan cannabis sativa. Ada ungkapan حشش: تعاطى الحشيش artinya merokok sejenis ganja.
Ulama fikih mendefinisikan hasyisy dengan ungkapan yang agak berbeda, misalnya Yasin al-Khatib seorang ulama fikih kontemporer dari Irak berpendapat bahwa kata hasyisy digunakan sebagai sebutan bagi bahan pembius yang berasal dari tanaman cannabis. Sedang Ahmad Abdullah al-Sa’id seorang ulama fikih kontemporer dari Riyad Arab Saudi menjelaskan bahwa hasyisy adalah sebutan dalam bahasa Arab bagi salah satu jenis obat bius. Wahbah al-Zuhaily menyebutkan, bahwa hasyisy itu berupa dedaunan tumbuh-tumbuhan yang berasal dari India.
Dari laporan perkembangan situasi narkoba dunia tahun 2014, diketahui angka estimasi pengguna narkoba di Indonesia tahun 2012 adalah antara 162 juta hingga 324 juta orang atau sekitar 3,5% - 7%. Perbandingan estimasi prevalensi tahun 2012 (3,5%-7%) dengan estimasi tahun 2010 yang kisarannya 3.5%-5.7%. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan prevalensi penyalahgunaan narkoba relatif stabil.
Jenis yang paling banyak digunakan adalah ganja, opiod, cocain atau type amphetamine dan kelompok stimulant. Penggunaan polydrugs yang merupakan campuran penggunaan dari dua zat atau lebih secara bersamaan baik menjadi perhatian yang serius baik konsekuensi kesehatan masyarakat dan kaitannya dengan program pengendalian peredaran narkoba. Di Indonesia diperkirakan jumlah penyalahguna narkoba setahun terakhir sekitar 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau setara dengan 1,9% dari populasi penduduk berusia 10-59 tahun di tahun 2008.
Hasil proyeksi angka prevalensi penyalahguna narkoba akan meningkat sekitar 2,6% di tahun2013 (BNN, 2011). Fakta tersebut di dukung oleh adanya kecenderungan peningkatan angkasitaan dan pengungkapan kasus narkoba. Data pengungkapan kasus di tahun 2006 sekitar 17.326 kasus, lalu meningkat menjadi 26.461 kasus di tahun 2010. Demikian pula data sitaan narkoba untuk jenis utama yaitu ganja, shabu, ekstasi, dan heroin.
Akibat maraknya perdagangan ilegal narkoba, terjadi peningkatan dampak (biaya kerugian) akibat narkoba baik dampak sosial, kesehatan dan ekonomi. Penyalahgunaan narkoba berdampak sosial sangat besar, mendorong tindak kejahatan dan meningkatan kerawanan sosial. Dari sisi penyalah-guna, kebutuhan ekonomi untuk membiayai pemakaian narkoba yang berharga mahal mendorong mereka melakukan tindak kejahatan seperti pencurian dan perampokan (Goode, 1999).
Data dari BNN tahun 2014, secara nasional saat ini peringkat pertama pengguna narkoba terbesar di Indonesia adalah Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah pengguna sekitar 7,6 juta orang. Peringkat kedua Kalimantan Timur, peringkat ketiga Sumatera Utara. Sedangkan Provinsi Sumbar berada di rangking ke-25 dari 34 provinsi di Indonesia. Bahkan, peringkat pengguna Narkoba di Sumbar jauh lebih tinggi dibanding Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung. Padahal, Sumsel dan Lampung termasuk kota besar yang cukup terkenal di pulau Sumatera.
Pertanyaannya, kenapa Sumbar menjadi incaran bandit-bandit Narkoba? Apa tujuannya? Lalu siapa yang mesti disalahkan? Jawaban sementara, bisa jadi karena lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah bersama aparat terkait di daerah ini. Begitu juga dengan peranan tokoh agama dan adat yang ada di bumi Ranah Minang tercinta ini.
Semoga masalah Narkoba ini menjadi perhatian serius kita bersama dan bersama-sama pula mencarikan solusinya tanpa harus mencari “kambing-hitam”. Sanksi penjara dan panti rehabilitasi yang dilakukan pemerintah dan aparat penegak hukum selama ini, ternyata belum cukup membuat jera para pengguna Narkoba di bumi pertiwi tercinta ini.
Mudah-mudahan Allah SWT melindungi kita semua dan memberikan petunjuk-Nya. Amiin Ya Rabbal’alamin. (*)