Mengawal Kerukunan Umat Beragama di Sumatera Barat

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 23 Januari 2017 10:30:17 WIB


Mengawal Kerukunan Umat Beragama di Sumatera Barat

(Perspektif Komunikasi Antarbudaya)

Oleh : Wakidul Kohar

Prolog

Teori Penengah lintas budaya, menjelaskan bahwa dalam problem atau konflik budaya, selalu ada komunitas  penengah atau medium budaya. Teori penengah lintas budaya, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini  adalah perlunya menambah pengetahuan pihak-pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, menghilangkan etnosentrisme, menjauhi prasangka, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki mengenai pihak lain, serta meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

Pemikiran di atas terkait dengan berbagai konflik yang selalu muncul di Negeri ini, yaitu merespon tantangan masyarakat Multikultural di Indonesia dan tidak luput di wilayah Sumatera Barat sebagai masyarakat madani. Salah satu problem pada masyarakat mejemuk, adalah barrier atau faktor penghalang komunikasi antarbudaya, dalam arti terdapat hambatan komunikasi sosiologis dan antropologis di berbagai wilayah  Indonesia yang multi kultur, termasuk di Sumatera Barat. 

Tawaran alternatif

Selanjutnya teori penengah budaya atau mediating cross Culture Theory,  secara khusus menemukan fenomena komunitas penengah budaya. Komunitas ini selalu ada pada setiap zamanya. Dalam kajian Islam personifikasi ini telah ada, yaitu Salman Alfarisi. Dalam perspektif  Islam bahwa komunitas atau kelompok masyarakat yang ideal, adalah ketika setiap orang dalam komunitas tersebut, mampu menjadi komunikator yang mampu berkomunikasi dan dapat diterima oleh semua golongan atau kelompok. Mereka mampu menjadi penengah ditengah problem sosial dan hambatan komunikasi antarbudaya. Dalam kajian Islam dikenal seorang sahabat yang telah didik oleh Nabi, untuk mampu menjadi seorang komunikator yang dapat diterima oleh semua golongan. Sahabat tersebut adalah Salman Alfarisi, yang dalam kitab Sunnah diberikan gelar “ salman mina” dalam arti Salmân dari kelompok kami oleh kelompok Muhajirin dan Ashar. Komunitas penengah budaya untuk konstek hari ini harus mempunyai kompensi dianntaranya:

Pertama, mempunyai kompetensi komunikasi antarbudaya

Interaksi dan pengalaman komunikasi antar orang yang berbeda budaya, pada aspek pandangan dunia, nilai-nilai, dan organisasi Sosial ( Agama, ekonomi dan poltik) pada setiap aktivitas kehidupan, secara tidak langsung mempengaruhi dalam mengurangi jarak sosial pergaulan antar orang yang berbeda budaya. Berkaitan dengan, bagi komunitas penengah budaya berkomunikasi dengan setiap orang apapun etnisnya, adalah sebuah kebutuhan, karena itu adalah tugas kebudayan yang merupakan nilai-nilai hidup mereka. Hal tersebut menandakan bahwa relasi suatu komunitas manusia, tidak bisa terbangun tanpa adanya komunikasi. Budaya sendiri tercipta karena komunikasi yang terbangun dari komunitas manusia. Simbol-simbol budaya dan berbagai produk kebudayaan manusia berawal dari cara pandang bagaimana sesuatu bisa dikomunikasikan.

Kedua, Kompetensi komunitas penengah, dibuktikan dengan adanya  motivasi untuk berkomunikasi dengan budaya lain. Motivasi tersebut diwujudkan dalam bentuk keinginan komunitas ini,  untuk membuat kesan yang baik dalam menyampikan pesan-pesan tentang kebersamaan membangun sinergi budaya dan agama, serta berusaha berkomunikasi secara efektif. Keinginan tersebut diiringi dengan oleh rasa percaya diri dan harapan memperoleh respon yang baik dari budaya lain. Kompetensi yang lain, adalah bahwa mereka mempunyai keinginan untuk mempelajari budaya orang lain. Sehingga mereka mampu memahami perbedaan-perbedaan terhdap nilai-nilai budaya orang lain.

Kelompok kampung tengah atau komunitas penengah berusaha menambah pengetahuan tentang pengusaan strategi komunikasi adat, budaya dan agama dengan etnis yang berasal dari budaya yang berbeda. Masih berkaitan dengan itu, Komunitas Penengah budaya juga mempelajari perbedaan watak dan perilaku komunikasi dalam adat dan ekpresi keagamaan yang berbeda. Komunitas Penengah budaya juga mengembangkan ketrampilan komunikasi antarbudaya, dalam kemampaun  untuk mengetahui  informasi budaya etnis lain (ko-aktor).

Ketiga, Pengakuan identitas budaya dan eksistensi budaya lain

Komunitas penengah budaya mengakui identitas dan eksistensi budaya orang lain. Sebagai contoh dalam hal perkawinan mereka lebih fleksibel tanpa harus mempermasalahkan exogamy dan enogamy ataupun unilinial descent..Semua gejala sosial tersebut menunjukkan bahwa perkawinan antara etnis memiliki pola interaksi homogamy secara khusus dan homofily dalam proses komunikasi secara umum. Homogamy artinya, pasangan-pasangan yang melangsungkan pernikahan menghendaki adanya kesamaan-kesamaan dalam karakteristik sosialnya, sedangkan homofily yaitu kesamaan derajat antara indidividu-individu yang terlibat dalam interaksi antarpribadi. Mereka saling percaya, tanpa sebuah kecurigaan. Sisi lain untuk menjelaskan  keadaan di atas,  yang masih terkait dengan homofily adalah persepsi dalam proses komunikasi antarbudaya. Unsur yang menjadikan interaksi seseorang lebih akrab dan komunikasi lebih terbuka, adalah persepsi atas kesamaan dari berbagai hal  yang meliputi penampilan, etnisitas, tempat tinggal geografi, pandangan  politik dan moral.

Epilog

Fakta keragaman budaya diberbagai wilayah di Indonesia dan di Sumatera Barat pada era apapun, bukan alasan untuk tumbuhnya sentimen, dan kebencian antaretnis, bahkan dimungkinkan tumbuhnya budaya penengah ditengah problem komunikasi lintas dan antarbudaya. Dengan bekal pemahaman dan kesalehan multikultural, masyarakat Sumatera Barat, akan lebih bijak dalam menghadapi perbedaan dan menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah kekuatan untuk membangun peradaban.