Pendidikan Integritas di Ranah Minang
Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 03 April 2017 11:30:56 WIB
Pendidikan Integritas di Ranah Minang
Oleh : Wakidul kohar
Akhir akhir ini, dunia pendidikkan pada tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi, sedang membincang pendidikan berkarakter. Salah satu tema yang selalu didendangkan adalah penerapan kurikulum 13 atau kurtilas. Inti kurikulum tersebut menekankan pada aspek karakter dan berdaya saing. Namun tulisan ini mencoba dari perspektif yang berbeda, yaitu dengan paradigma pendidikan yang menghidupkan nilai (living value education), sehingga peserta didik menjadi sosok yang berkarakter. Argumen ini cukup beralasan, karena dalam perspektif sejarah di Minangkabau, terdapat pola pendidikan surau dan juga pola pendidikan fomal.
Perspektif dan paradigma pendidikan yang menghidupkan nilai atau LVE, kiranya perlu diterapkan agar setiap komponen peserta didik, sebagai anggota masyarakat mampu menghidupkan nilai-nilai dasar kehidupan. Nilai adalah sesuatu yang membuat seseorang berharga dimata orang lain. Lebih dari itu nilai adalah sesuatu yang berharga dihadapan Tuhan, karena seseorang menyakini sebagai media tangan Tuhan di bumi. Nilai-nilai tersebut di antaranya:
Pertama, nilai kerjasama dalam arti ketika semua orang saling menolong untuk sesuatu hal yang penting. Segala sesuatu yang penting, dapat dipastikan orang meluangkan waktu untuk hal tersebut. Realitas kerjasama tersebut nampak pada aktivitas proses belajar mengajar. Nilai kerjasama juga dapat artikan semua berusaha untuk meraih tujuan bersama. Kerjasama dapat pula diartikan bersama-sama untuk menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Nilai kerjasama dapat dimaknai sebagai panggilan hidup untuk saling peduli. Dalam perspektif al-Quran nilai- nilai tersebut dilakoni oleh para pemimpin besar, yaitu dari nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, Nabi Isa, serta nabi Muhammad. Para pemimpin tersebut sudah barang tentu memiliki Iman yang kuat, mereka membuat nilai tambah, untuk mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Kedua, estetika (keindahan) dalam kata dan doa. Estetika kepada yang maha indah dan tak terbatas. Keindahan tersebut menuju pada keagungan ahlak, budi pekerti yang bermuara pada sikap ketauhidan. Keindahan akan tampak jelas, ketika anak memohon doa restu dan mencium tangan orang tuanya, ketika akan berangkat ke sekolah. Keindahan terbukti dari kerja keras melaut seorang nelayan, yang membawa sekerajang ikan, untuk membantu bagi yang membutuhkan. Keindahan juga terlihat, ketika seorang perawat menyeka bekas luka pasiennya di rumah sakit. Keindahan tampak pada muka yang pucat pasi, namun penuh keihlasan seorang ibu, yang telah beberapa minggu menunggu anaknya yang sedang terbaring di rumah sakit. Sikap keindahan di atas dilakukan, karena panggilan jiwa yang penuh menghadirkan keindahan Tuhan.
Ketiga, Etos, yang diartikan sebagai kerja dan meraih prestasi untuk bangsa ini, merupakan limpahan rahmat Tuhan. Kesadaran akan limpahan rahmat pada diri manusia, maka berefek pada mental yang berlimpah untuk sekeliling. Hasil dari pribadi yang berlimpah, akan tumbuh pada karakter seseorang burupa, saling menolong, tidak takut kekurangan, lebih mendahulukan memberi dari menerima, berusaha menabur dahulu menuai kemudian, mampu memberi dan menawarkan pertolongan. Disinilah letaknya orang-orang yang bermental pemenang dibanding dengan bermental pecundang dalam setiap melakoni pekerjaan. Para pecudang selalu berkata, “ini bukan tugas saya,” sedang para pemenang selalu berkata “pasti ada jalan keluarnya.” Pemenang selalu bagian dari solusi, pecundang selau bagian dari masalah. Pemenang selalu menampilkan program, pecundang selalu menyuguhkan “kambing hitam.”
Orang yang menyakini bahwa kehidupan dan pekerjaannya adalah rahmat, mereka akan berjiwa besar. Mereka sadar karena sang maha pemberi dengan penuh kasih sayang, senantiasa akan mencukupkan dirinya. Dengan jiwa besar, hati yang diliputi rasa bersyukur, dan karakter berlimpah, mereka akan diliputi rasa suka cita dan bahagia dalam bekerja dan mengukir prestasi.
Keempat, menghargai yang berarti bangga dengan diri sendiri, sebagai manusia mulia. Menghargai berarti mengakui bahwa setiap diri manusia unik dan bernilai. Menghargai berarti mengetahui bahwa setiap manusia merasa dicintainya dan memiliki kemampuan. Menghargai berarti bersedia mendengarkan orang lain. Menghargai berarti mengetahui bahwa orang lain, juga bernilai dan menghargai berarti mempunyai sikap baik pada setiap orang.
Di dalam kelas sudah dipastikan bertemunya semua budaya dan etnis pada peserta didik. Disinilah perlukan sikap saling menghargai dengan kompentensi komunikasi antarbudaya bagi seluruh komponen. Kompetensi komunikasi antarbudaya ditentukan oleh knowledge, yaitu kelonggaran hati dan pikiran untuk belajar dan memahami budaya orang lain, karena setiap budaya mempunyai nilai-nilai, kepercayaan yang bersifat trandensental dalam arti keimanan serta kepercayaan terhadap budayanya sendiri, sejarah kebangsaan dan organisasi sosial yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lain.
Kenyataan di atas, memerlukan kompentensi pada setiap insan, untuk menanamkan motivasi (motivation) atau keinginan untuk lebih mengenal budaya orang lain. Pesan Tuhan dalam karya jurnalistiknya yaitu al-Qur’an, memberikan sejumlah informasi, bahwa perbedaan jender, budaya dan etnis, hanya satu tujuan untuk saling ta’ruf atau saling mengenal. Ta’aruf adalah sikap memperdalam pemahaman, menghargai, motivasi dan tanggungjawab segenap komponen bangsa yang berkaitan dengan pembuatan pilihan pribadi dan sosial yang positif, terhadap orang yang berbeda budaya.
Kelima, kedamaian, yang dapat diartikan sesuatu yang membuat tenang dalam hati. Damai adalah memiliki perasaan yang baik dalam hati. Damai adalah rukun dan tidak bertengkar. Damai adalah mempunyai pikiran positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Damai adalah tidak mengukur kebaikan dan keburukan budaya orang lain, dengan budayanya sendiri. Karena ketika seseorang selalu mengukur baik dan buruk budaya orang lain, dengan kerangka budayanya sendiri, maka seseorang tersebut telah melakukan etnosentris. Etnosentris cenderung hampir berlaku pada setiap kebudayaan dan hal ini merupakan hambatan utama dalam pencapaian pikiran positif terhadap orang lain, maka sikap etnosentrime harus dihindarkan.