Tipikal Orang Minang Suka Berdagang

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 10 Februari 2017 11:02:53 WIB


Tipikal Orang Minang Suka Berdagang

Oleh: Noa Rang Kuranji

Ada fenomena menarik yang terjadi di Sumbar. Khususnya dalam mengatasi masalah pengangguran yang rata-rata cenderung meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia, sehingga menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikannya.

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia setiap tahun, sudah pasti akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran secara nasional. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan tingginya angka pengangguran tersebut membuat pemerintah jadi kewalahan untuk mencarikan solusinya.

Bahkan, Indonesia termasuk negara dengan peringkat ketiga tertinggi angka penganggurannya di kawasan Asia Tenggara sebesar 6,3 persen pada tahun 2015. Peringkat pengangguran tertinggi pertama adalah Brunai Darussalam dengan angka mencapai 6,9 persen. Disusul Filipina di peringkat kedua dengan angka penganggurannya mencapai 6,5 persen. Brunai meski menempati rangkin pertama angka pengangguran di Asean, namun pemerintah setempat membuat kebijakan memberikan gaji kepada warganya yang menganggur sehingga angka kriminalitas di negara kaya minyak tersebut boleh dibilang sangat rendah.

Sementara di Indonesia, angka pengangguran meningkat, pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Akibatnya, angka kriminalitas pun meningkat karena sebagian warga terpaksa menempuh jalan pintas demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti merampok, maling, menjambret, menipu dan lain-lain sebagainya. Meskipun perbuatan melanggar hukum itu tantangannya masuk penjara, namun tetap saja tidak membuat jera masyarakat yang terpaksa menempuh jalan pintas karena tidak tahan dengan perut lapar.

Mengatasi masalah pengangguran ini menjadi prioritas utama hampir seluruh pemerintah provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia, termasuk di Sumbar. Cuma bedanya, di Sumbar kondisinya tidak separah dibandingkan daerah lain. Sebab, orang Minang yang merupakan etnis mayoritas penduduk Sumbar memiliki karakter dan tipikal tersendiri bila dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya di tanah air.

Rata-rata orang Minang memiliki bakat berdagang atau menjadi pengusaha, sehingga Pemprov Sumbar maupun pemerintah kabupaten/kota di daerah ini tidak perlu repot-repot memikirkan masalah pengangguran tersebut. Buktinya, angka pengangguran Sumbar termasuk terendah di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumbar menyebutkan, angka pengangguran di daerah ini pada tahun 2016 hanya sebesar 5,09 persen atau sekitar 125,09 ribu orang dari 5 juta jiwa penduduk Sumbar. Angka tersebut dari tahun ke tahun cenderung turun. Hebatnya lagi, para pengangguran di Sumbar mayoritas didominasi lulusan sarjana (S1) dan Diploma III (D3). Sehingga tidak terlalu menyulitkan bagi mereka untuk membuka lapangan pekerjaan atau usaha sendiri.

Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno ketika membuka Rapat Koordinasi Bidang Ketenagakerjaan dan Ketermigrasian se Sumatera Barat di Aula Dinas Nakertrans Provinsi Sumbar, 7 Februari 2017 silam, mengatakan, persoalan pengangguran dan kemsikinan di Sumbar memiliki data yang tidak signifikan, dimana data kemiskian Sumbar berada di bawah rata-rata nasional. Seyogyanya, jika data kemiskinan berada di bawah rata-rata nasional maka idealnya angka pengangguran juga seharus di bawah rata-rata nasional.

“Ini memang sesuatu yang menarik. Kita juga mengetahui karakter dan budaya masyarakat Sumatera Barat yang lebih memiliki pekerjaan sebagai pemikir, komunikasi dan pendidik. Mereka lebih cenderung mengandalkan otak dan hanya sedikit sekali yang menjadi buruh. Jika adapun pekerjaan sebagai petani, UKM dan lainnya itu pun dengan prinsip-prinsip bagi hasil,” kata gubernur dalam pidatonya ketika itu.

Menurut Irwan Prayitno, pemerintah semestinya menyikapi pembukaan lapangan pekerjaan di Sumatera Barat dengan pendekatan pemberdayaan, sehingga inovatif dan kreatifitas tenaga kerja itu sendiri dapat menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan pasar di lapangan. Jadi, yang lebih dibutuhkan di Sumbar adalah dengan memperbanyak pelatihan-pelatihan tenaga kerja.

“Pada saat kita mampu melatih tenaga kerja tersebut, mereka juga nanti mampu membuat lapangan kerja baru sekaligus membuka lapangan kerja baru di Sumatera Barat,” ujarnya.

Penulis pun sepakat dengan gagasan Gubernur Sumbar itu. Artinya, pemerintah tidak perlu repot-repot membangun pabrik industri ini dan itu untuk mengurangi angka pengangguran. Cukup memperbanyak pelatihan-pelatihan tenaga kerja dan memberikan modal usaha sehingga masyarakat tetap mandiri tanpa bergantung seratus persen pada lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah.

Soalnya, jiwa dagang orang Minang yang diwariskan turun-temurun kepada anak cucunya tersebut setidaknya telah mampu meringankan beban pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran di negara ini.

Sehingga tidak heran kita melihat, apa pun profesi dan pekerjaan yang digeluti masyarakat Minang, baik sebagai pegawai negeri atau swasta, pejabat atau konglomerat sekalipun, jiwa dagangnya tidak pernah hilang. Ada waktu senggang, mereka usahakan untuk berdagang. Entah itu, berdagang makanan, minuman, pakaian, karya seni, buku-buku dan lain-lain sebagainya. Masyarakat yang hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain inilah sebenarnya yang diinginkan pemerintah sejak Indonesia Merdeka 72 tahun silam.

Selama ketergantungan hidup kita pada orang lain masih tinggi, selama itu pula kesejahteraan hidup tidak akan pernah tercapai. Semoga menjadi renungan kita bersama. Amin ya rabbal’alamin. (*)