KUNCI HADAPI Pandemi Covid-19 Bagi Keluarga Muslim

Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 23 November 2020 09:32:24 WIB


Wabah pandemi covid-19 yang saat ini sedang terjadi mempunyai dampak tidak hanya pada sektor kesehatan dan juga ekonomi, namun juga berpotensi berdampak terhadap keretakan rumah tangga atau terganggunya keharmonisan hubungan suami istri. Hal ini disebabkan banyaknya para suami sebagai kepala keluarga yang kehilangan pekerjaannya atau berkurang pemasukannya. Potensi keretakan rumah tangga dapat terjadi jika para suami dan istri tidak memperhatikan hal-hal utama dalam menghadapi ujian pandemi wabah ini. Ada pelajaran yang seyogianya diambil oleh keluarga muslim di Indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19. 

Pertama; Bersabar saat pemasukan kepala keluarga berkurang drastis atau bahkan hilang pekerjaannya. Bersabar adalah kata yang mudah diucapkan namun butuh diperjuangkan. Ada 103 kali kata sabar diulang di dalam Al-Qur’an dengan turunan maknanya. Ini menunjukkan bahwa sabar bukan semata sifat yang disematkan kepada orang yang akan dibersamai oleh Allah seperti dalam firman-Nya; “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”. – (Q.S Al-Baqarah: 153). Namun sifat sabar juga bermakna kata kerja yang tidak berhenti di satu momen kehidupan saja, melainkan berterusan tiada habisnya. Suami seyogianya bersabar atas penghasilan yang ia dapatkan. Istri seyogianya bersabar atas nafkah yang ia terima dari suaminya. 

Kedua; Suami adalah qowwam, yang berarti pemimpin atau kepala keluarga yang bertanggung jawab memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dalam kondisi apapun selama ia mampu secara jiwa dan raganya. Karenanya, hilangnya pekerjaan atau kondisi wabah bukanlah excuse yang bisa dijadikan oleh suami untuk tidak bekerja keras semampu yang bisa ia lakukan, karena Allahlah pemegang rezeki. Manusia hanya diwajibkan untuk berikhtiar, bertawakkal, serta tak putus asa dari rahmat-Nya. 

Ketiga; Dukungan dan pengertian dari Istri. Berkurangnya pemasukan dari suami dalam kondisi covid-19 bukanlah karena kemauan suami. Namun kondisi yang menjadikannya seperti itu. Hal inilah yang perlu dipahami oleh para istri. Suami yang masih berusaha keras untuk mencari nafkah walau jumlahnya tidak banyak haruslah dihargai. Seperti kisah Asma’ binti Abu Bakar, sang putri khalifah pertama yang bersabar dengan harta yang dimiliki oleh suaminya Zubair Bin Awwam. Zubair tidak mempunyai harta selain kuda. Namun ia tetap membantunya merawat kuda, memberikannya makan dan minum, bahkan ia membuat sendiri adonan roti. Berkurangnya pemasukan suami bukanlah alasan utama yang bisa dijadikan oleh para istri untuk menggugat cerai suaminya. 

Keempat; Akhlak adalah yang utama. Mungkin harga diri suami menjadi terusik ketika pemasukan berkurang. Mungkin ketenangan istri berubah menjadi kegelisahan. Kekhawatiran terus menerus akan masa depan yang tidak menentu. Biaya pendidikan menjadi beban. Biaya makan terkurangi. Tetapi ada yang tidak boleh berubah, yaitu akhlak. Akhlak suami kepada istri. Begitupun akhlak istri kepada suami. Suami tidak boleh menjadi temperamental melampiaskan keputusasaannya kepada istri dan anak-anak, istri tidak boleh menjadi pemarah menyalahkan suami atas berkurangnya pemasukan keluarga. Suami tetaplah qowwam yang harus dihargai. Istri tetaplah ma’mum yang harus dijaga. 

Empat hal tersebut merupakan kunci agar para keluarga muslim dapat saling menguatkan pada masa krisis pandemi ini. Krisis ekonomi adalah sementara. Namun ikatan kasih sayang antara keluarga haruslah selamanya. Bersabarlah dan jadikanlah shalat sebagai penolong utama, karena qana’ahlah kunci utamanya.