HIJRAH MASA PANDEMI DAN ERA DIGITAL

Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 24 Agustus 2020 09:39:20 WIB


  Bulan Agustus 2020 ini, kita memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-75 tahun, sekaligus juga memasuki tahun baru Hijriyah, 1 Muharram tahun 1442 Hijriyah. Sebagai ummat Islam tentu kita perlu mengetahui makna hijrah sebagai bagian dari asal usul penentuan penanggalan Islam tersebut.

Jika dikembalikan pada maknanya, hijrah adalah suatu proses perpindahan atau perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat dari Mekkah yang masih jahiliyah menuju Madinah yang telah menerapkan Islam.

Melalui peristiwa hijrah inilah, umat Islam akhirnya mampu menjalankan ajaran agamanya dengan sempurna, tanpa terganggu oleh tradisi jahiliyah. Berkaca pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW tersebut, fenomena hijrah di masa sekarang juga diartikan sebagai perubahan seseorang menuju kondisi yang lebih baik.

Hijrah di era digital adalah peralihan (perubahan) cara berpikir dan tindakan dari penggunaan media manual ke teknologi digital, yang disertai penguasaan, keahlian dan keterampilan (skill) terhadap media tersebut. Selain itu, sangat penting juga pengawasan dan mengendalikan peran teknologi dengan baik dan benar, supaya era digital membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia (Islam), khususnya generasi muda Indonesia.

Apalagi sejak munculnya pandemi Covid-19, orang terpaksa mengurung diri di rumah karena menghindari sebaran virus Corona dan menerapkan social distancing /menjaga jarak dari orang lain. Masa pandemi ini, membuat kita mau tidak mau harus memanfaatkan tekhnologi digital dalam berinteraksi dengan orang lain. Semua bersifat online, anak- anak sekolah dan belajar secara online, para pekerja kantoran pun bekerja dari rumah (work from home) secara online.Para emak pun memanfaatkan hp untuk memesan barang dan makanan secara online karena takut keluar rumah.

       Kehadiran media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Tweeter, telegram dan Instagram selain sebagai media komunikasi, juga digunakan untuk membuat dan menyebarkan informasi, baik isu terkait politik, ekonomi, hingga ideologi keagamaan.

Fenomena tersebut diistilahkan  sebagai “socially mediated publicness”. Kehadiran media sosial dan netizen di tengah kompleksitas peroblematika hidup nampaknya telah berhasil melahirkan sebuah kekuatan baru “The Power of Netizen” yang juga ikut menjadi bagian dari konstruksi realitas sosial. Melalui media sosial, seseorang dapat melakukan rekayasa informasi antara kebenaran dan kepalsuan, moralitas dan religiusitas, fakta dan fiktif yang menjadikannya tampak bias dan sulit untuk dibedakan. Munculnya berita hoaks yang kadang sulit diketahui kebenarannya, telah menjadi konsumsi kita sehari-hari yang mendengar, melihat dan membaca beritanya.

saya ingin mengajak seluruh pembaca tulisan ini,, untuk hijrah dari perilaku sharing ( menyebarkan info) tanpa saring menjadi saring sebelum sharing, dari menebar pesan kebohongan dan kebencian beralih ke meninggalkan pesan damai.

Hijrah melawan hoaks dan ujaran kebencian /hate speech ini menjadi kebutuhan yang wajib dilakukan di era digital ini. Karena jumlah penyebar hoax dan kebencian terus saja mengalami peningkatan. Padahal secara sengaja menyebarkan hoax dan kebencian bisa terancam pidana.

Beberapa tahun belakang ini, sudah banyak sekali para pihak yang ditangkap karena menyebarkan berita bohong dan kebencian. Namun penyebaran informasi bohong dan kebencian ini masih saja terjadi hingga saat ini. Bahkan menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, intensitas penyebaran hoax dan ujaran kebencian terus mengalami peningkatan.

Akibatnya banyak masyarakat yang tidak bisa mendapatkan informasi secara utuh. Banyak masyarakat yang menjadi korban provokasi, dan terjebak dalam politik adu domba pihak-pihak tertentu. Tidak sedikit pula dari masyarakat yang menjadi korban provokasi kelompok radikal. Mereka merasa paling benar sendiri, dan pihak lain yang berbeda pandangan dianggap salah, bahkan ada juga yang dianggap kafir.

Jika penyebaran hoax dan kebencian ini terus dibiarkan, tentu akan semakin banyak yang menjadi korban. Akan semakin banyak ketidakpastian yang beredar di media sosial. Untuk itulah harus ada yang menyudahinya dan memberikan penyadaran. Tentu ini tidak bisa dilepaskan pada pemerintah ataupun aparat keamanan.

Kita sebagai generasi penerus bangsa yang melek teknologi, juga mempunyai kontribusi untuk membuat interaksi di dunia maya berjalan dengan baik. Kita juga punya kewajiban untuk menjadikan media sosial, sebagai media pemersatu dan silaturahmi antar sesama, bukan media penyebaran kebencian dan saling caci maki.

Jika media sosial bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih baik, kenapa harus disalahgunakan untuk kepentingan negative? Jika kita bisa duduk saling berdampingan, kenapa harus saling bermusuhan? Bukankah hidup dalam keragaman itu menyenangkan? Ibarat taman yang dipenuhi aneka bunga warna-warni, akan lebih indah dipandang mata dari pada taman yang hanya berisi satu tanaman.

Kita Indonesia. Indonesia adalah kita. Ayo jaga Indonesia agar masyarakatnya tidak selalu mencari kejelekan dan kesalahan orang lain. Ayo kita sadarkan agar kita semua mengedepankan kearifan lokal, yang tetap menjaga tutur kata dan perilaku.

Dan media sosial yang saat ini banyak digunakan oleh seluruh orang untuk beraktifitas dan berekspresi, juga harus bersih dari segala pengaruh buruk. Ayo kita hijrah di masa pandemi dan era digital ini, untuk berkomitmen melawan hoaks dan ujaran kebencian. Manfaatkanlah tekhnologi digital dengan hal positif dan santun, sehingga kehidupan ini menjadi berkah in syaa Allah.Wallahu a'lam. (SZ)