Hidroponik

Hidroponik

Artikel () 20 Juli 2020 22:23:28 WIB


Tabloid Mingguan Kontan edisi 20-26 Juli 2020 dalam salah satu halamannya menuat tulisan F. Rahardi, seorang pengamat Agribisnis. Judul tulisannya cukup mengagetkan, “Hidroponik Tipu-tipu”. 

Rahadi memulai dengan menceritakan keberadaan lahan hidroponik di gedung kantor pusat Pasona, Tokyo, Jepang. semua tumbuh dengan sempurna dan berkualitas prima. Namun ternyata harga jual komoditi tersebut tidak sebanding dengan biaya produksinya. Ternyata tumbuhan hidroponik yang ada di gedung tersebut berfungsi untuk menarik perhatian dan sebagai asesoris serta memunculkan suasana nyaman di Gedung tersebut. 

F. Rahardi kemudian mulai membuka pikiran pembaca tentang tren hidroponik yang kembali muncul di Indonesia. F. Rahardi mempertanyakan, apakah sayuran dari hidroponik bisa sebanding dengan sayuran kualitas premium. 

Kemudian F. Rahardi menceritakan bahwa Bob Sadino pernah menanam kangkong hidroponik yang dijual di Kem Chicks dengan harga 2.000 rupiah perikat pada decade 1980an. Sementara kangkong cabut biasa dijual di Kem Chicks seharga 200 rupiah per ikat. Dan kangkong potong di pasar tradisional hanya 75 rupiah per ikat. Kangkong Bob dalam beberapa tahun memang laris manis, tapi ternyata itu hanya untuk menarik perhatian konsumen untuk datang ke Kem Chicks. 

F. Rahardi juga mengulas, di jalur kereta bawah tanah Nakano-Nishi-Funabashi sepanjang 30,8 km ada pembangunan hidroponik sayuran Metro Tokyo. Tapi tujuannya bukan untuk produksi sayuran. Melainkan meningkatkan kenyamanan pengguna subway agar tidak merasa bosan duduk selama satu jam. 

Sayuran hidroponik tersebut dijual di stasiun-stasiun sepanjang jalur tersebut dengan harga 200 yen atau 20.000 rupiah per porsi, dan laris. Harga salad tersebut murah karena biaya pembangunan farm-nya tidak dihitung sebagai penyusutan ungkap F. Rahardi. 

Iklim di Jepang tidak memungkinkan bagi hidropnik, maka digunakan sebagai sarana promosi. Apalagi di Indonesia menurut F. Rahardi. F. Rahardi menyitir pendapat para penjual peralatan hidroponik yang menyatakan menanam hidroponik akan menghasilkan untung. 

Dalam paragraph penutup, F. Rahardi menyebut hidroponik di dunia pertanian adalah “teknologi salon”. Sangat menarik untuk dipertontonkan, tetapi tidak ekonomis untuk diterapkan 100% dalam bisnis agro. 

Lalu bagaimana dengan masyarakat yang sudah mempraktikan hidroponik di rumah mereka? Mungkin perlu dilihat lagi, apakah yang dimaksud oleh F. Rahardi memang sama persis atau tidak dengan yang dialami masyarakat. (efs)

ilustrasi: shutterstock


Berita Terkait Lainnya :