Belajar Silat dan Mengaji di Surau Ala Minangkabau

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 13 Maret 2019 10:09:21 WIB


DULU di Ranah Minang atau Minangkabau, seorang anak laki-laki yang sudah akil baligh atau dewasa tidak lagi mendapatkan kamar atau tempat untuk tidur di rumah. Kenapa? Karena anak laki-laki tersebut  beranjak dewasa mereka harus di kirim ke surau untuk menempuh pendidikan, tentunya tidak mengabaikan pendidikan di sekolah umum. 

Selain Mengaji (belajar membaca Al-Quran), anak laki-laki Minangkabau tersebut juga belajar ilmu bela diri berupa silat dan pepatah petitih atau pantun. Kemudian pendidikan di surau tidak hanya difokuskan terhadap  hal-hal yang berbau teoritis, tetapi lebih dititik beratkan kepada elemen-elemen moral dan akhlak di dalam bermasyarakat. 

Kemudian, walaupun banyak aspek kehidupan yang diajarkan di surau, tetap saja istilahnya disebut Mangaji ka surau.  Istilah ini tidak terlepas dari metode belajar di surau. Di surau, anak-anak tidak langsung belajar tentang moral dan akhlak, hal itu tidak disampaikan secara gamblang namun tersirat. 

 Awalnya, anak-anak belajar mengaji (membaca Al-Qur'an), setelah lancar secara perlahan guru mengajarkan tentang makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an, dan juga diselingi dengan cerita-cerita teladan. Nah, dari kisah-kisah inilah secara perlahan moral dan akhlak dibangun di dalam hati sanubari ana Minangkabau. 

Berdasarkan catatan sejarah, begitulah sistem pendidikan Surau yang harus dijalani anak-anak Minangkabau  zaman dulu dan fakta ini sudah terukur dan terbukti menghasilkan generasi unggul sekaliber Bung Hatta, Buya Hamka, Sutan Syahril, Haji Agus Salim, Tan Malaka dan Emil Salim dan banyak lahi sosok dan tokoh Minang yang berkualitas dan dikenang sepanjang zaman. 

Sementara  pelajaran di sekolah umum tetap dijalankan atau dilaksanakan anak nagari Minangkabau. Sementara kegiatan di surau hanya dilakukan sepulang dari sekolah umum. Kesimpulannya, Hati, otak, dan raga mereka terlatih secara seimbang, tanpa menyampingkan salah satu aspek. Bekal inilah yang menghasilkan generasi yang cerdas spiritual, emosional, dan intelegensi.

Kini,slogan Babaliak ka surau selalu menjadi bahasan dari tokoh Minang masa kini dan sayangnya hanya sebagai kenangan masa lalu, dan catatan sejarah masa lalu. Kenapa? Karena hingga kini surau-surau masih sepi dari aktifitas proses pendidikan Ala Miangkabau masa lalu tersebut. 

Meskipin kini ada anak-anak nagari belajar mengaji ke Surau atau masjid-masjid, hanya sebatas belajar  membaca AL-Quran, serta mengenal huruf arab sebagai bahasa Al-Quran di TPA, Taman Pendidikan Agama. Setelah belajar sekitar 2 atau 3 jam, anak nagari tersebut kembali kerumahnya masing-masing dan di masjid tak ada akfitas belajar silat. Kalaupun ada pelajaran selain membaca Al-Quran, hanya untuk belajar shalat mayat dan itupun tak semua masjid yang melaksanakan proses belajar tata cara melaksanakan memandikan jenazah dan mengkapaninya tersebut.   

Di awal reformasi dulu, memang ada wacana untuk menerapkan sistem belajar mengajar masa lalu dengan istilah kembali ke Surau dan nagari. Namun wacana tersebut tak semudah membalik telapak tangan dan memerlukan kajian serius para pakar pendidikan dan tokoh agama dan adat.

Langkahnya perlu membangun sistem pendidikan kembali ka Suran dan Nagari itu dengan menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni sebagai guru dan pandeka yang pandai bersilat.

Yang jelas, untuk membentuk karakter anak Minangkabau bukanlah perkara yang mudah dan simple dan sangat pemikiran yang tajam dan mendalam dengan melibatkan pakar pendidikan, serta ulama dan pandeka. 

Yang tak kalah pentingnya menyiapkan dana anggaran untuk keperluan yang berkaitan dengan konsep kembali ka Surau dan Nagari tersebut. Diakui, tak ada masalah yang tak bisa dilaksanakan, asalkan generasi muda Minang, serta tokoh masyarakat sa ciok bak ayak dan sadanting bak basi. Kini, mari kito inok-inokan baliak, wacana untuk kembali ke sitem pendidikan berbasiskan Surau. (Penulis waratwan tabloidbijak.com)